JAKARTA – Pemerintah seharusnya lebih bersungguh-sungguh mendorong pengembangan pemanfaatan energi panas bumi (geothermal) di Indonesia. Karena selain potensi energi negeri ini di Indonesia paling besar di dunia, panas bumi juga merupakan energi bersih yang ramah lingkungan, dan dapat menunjang upaya melestarikan hutan.
Seperti diungkapkan General Manager Policy, Government & Public Affairs Chevron Geothermal & Power, Paul E Mustakim, panas bumi bukanlah suatu kegiatan eksploitasi sumber energi yang mengupas lahan atau mengubah bentang alam, seperti pertambangan pada umumnya.
Pemanfaatan panas bumi hanya berupa kegiatan “menyuntik” bumi, sehingga luasan lahan yang dibutuhkan hanya sedikit. Misalnya lahan yang disediakan seluas 10 hektar, maka yang akan dibuka paling banyak 2 hektar, untuk kantor, jalan, generator, dan well patt.
Selebihnya, lahan tetap dibiarkan menghijau, bahkan harus dipertahankan untuk tetap rimbun dan menghijau, guna mempertahankan jumlah air hujan yang dapat terserap ke tanah. Pada beberapa wilayah kerja panas bumi (WKP) yang pernah dikunjungi Dunia Energi, juga terlihat bentangan ratusan hektar kebun teh yang subur menghijau, sehingga memungkinkan untuk menjadi obyek wisata.
Paul menambahkan, ada beberapa keuntungan jika di sekitar hutan berlangsung kegiatan pemanfaatan panas bumi. Pertama, operasi panas bumi merupakan bagian dari obyek vital nasional yang dilindungi negara. Selain pengamanan internal oleh perusahaan, alat negara juga diwajibkan melindungi obyek vital nasional. Dengan begitu, hutan otomatis terlindungi dari kegiatan penjarahan liar.
Kedua, pada operasi panas bumi, yang dimanfaatkan adalah uap basah dari dalam bumi. Untuk dapat menggerakan generator dan menghasilkan listrik, uap itu disaring dan airnya disuntikkan lagi ke dalam bumi. Dengan begitu, sumber air di sekitar wilayah operasi panas bumi akan terjaga dengan baik.
“Jadi tidak benar kalau ada yang mengatakan, ketika ada operasi panas bumi, maka sumber air di sekitarnya akan mengering. Operasi panas bumi justru menjaga sumber air tanah tetap lestari,” ujar Paul kepada Dunia Energi belum lama ini.
Ketiga, pada operasi panas bumi yang berada di hutan lindung, maka perusahaan pengembang panas bumi diwajibkan mengganti luasan lahan hutan yang digunakan sebanyak dua kali lipat. Itu artinya, ketika berlangsung operasi panas bumi di suatu wilayah, maka dijamin hutannya tidak berkurang, bahkan semakin luas.
Misalnya lahan yang disediakan untuk pengembang panas bumi 10 hektar, maka dia harus mengganti dua kali lipat yakni 20 hektar. Dari 10 hektar lahan itu, paling banyak hanya 2 hektar yang digunakan, sebanyak 8 hektar lainnya dibiarkan tetap berupa hutan. Dengan begitu, luasan hutan bertambah menjadi 28 hektar.
“Kita bisa lihat di salah satu lokasi pengembangan panas bumi Chevron yang sudah eksisting di WKP Salak, Jawa Barat. Hutan di kawasan Gunung Salak adalah salah satu yang paling bagus di Jawa. Jadi panas bumi ini merupakan energi yang paling bersahabat dengan hutan dan lingkungan,” tandas Paul.
Terganjal Penolakan Masyarakat
Chevron sendiri merupakan salah satu pioneer pengembangan panas bumi di Indonesia. Dua wilayah operasi panas buminya yang sudah eksisting dan mengalirkan listrik ke jaringan Jawa – Bali yang pertama adalah di Darajat (masuk wilayah Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat) berkapasitas 270 Megawatt (MW). Kedua, di WKP Salak (masuk wilayah Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat) dengan kapasitas 377 MW.
Chevron saat ini juga sedang mengembangkan panas bumi di Sumatera. Yang pertama adalah di WKP Suolah Sekincau, Lampung Barat. Lalu yang kedua, Chevron tahun ini baru saja mendapatkan penugasan pemerintah, untuk melakukan survei pendahuluan potensi panas bumi di Gunung Garedong, Nanggroe Aceh Darussalam. Indikasi awal, kawasan itu menyimpan potensi panas bumi hingga 110 MW.
Saat ini, ujar Paul, dari sisi kebijakan pemerintah sudah memberikan lampu hijau terhadap pengembangan panas bumi, meski harus dibenahi disana-sini. Kebijakan dari sisi harga sudah relatif baik, dengan diterapkannya “fit in tariff” (harga yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan wilayah, red).
“Sekarang kalau tidak salah, harga untuk listrik panas bumi di Jawa, berada di kisaran USD 11 sen per kWh (Kilowatt hours). Sedangkan di Sumatera di kisaran USD 10 sen per kWh, dan di luar Jawa di kisaran USD 17 sen per kWh. Kabarnya tarif ini akan direvisi lagi oleh pemerintah,” jelasnya.
Namun yang masih mengganjal saat ini, adalah penolakan dari masyarakat. Banyak operasi panas bumi yang bahkan sudah mendapat izin dari pemerintah, justru ditolak oleh masyarakat. Sumber penolakannya adalah kurangnya pemahaman tentang operasi panas bumi, yang dikhawatirkan merusak lingkungan, mengganggu kepentingan masyarakat adat, dan sebagainya.
Kondisi ini, membuat investor yang hendak masuk mengembangkan panas bumi, berpikir berulang-ulang kali. Padahal potensi panas bumi Indonesia adalah yang terbesar di dunia, mencapai 28.500 MW, yang merupakan 40% dari total sumber daya panas bumi dunia. Sayangnya, potensi panas bumi yang besar itu, baru dapat dikembangkan sekitar 4% akibat berbagai kendala yang terjadi di lapangan.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru