JAKARTA – Layaknya seorang muslim yang menyambut Hari Raya Idul Fitri, Bachtiar Abdul Fatah sangat ingin berkumpul bersama orangtua, istri, anak-anak, dan sanak keluarga. Sayangnya, tahun ini ia harus Lebaran di ruang tahanan. Permohonan penangguhan penahanan yang diajukan alumni Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini pun seolah tak digubris oleh majelis hakim.
Berliku upaya Bachtiar Abdul Fatah mencari kebenaran dan keadilan atas kasus pidana yang membelitnya. Sepucuk surat Mahkamah Agung (MA) yang menjadi dasar dipidanakannya kembali karyawan PT Chevron Pacific Indonesia ini, dinilai oleh penasehat hukumnya, Maqdir Ismail, merupakan suatu bentuk praktik peradilan sesat yang melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Sampai menjelang akhir Ramadan lalu, Maqdir Ismail masih berupaya mencari titik terang atas sepucuk surat MA Republik Indonesia (RI) Nomor: 316/BP/Eks/03/2013 tanggal 21 Maret 2013, yang menurut Kejaksaan Agung (Kejagung) merupakan dasar dilakukannya penuntutan kembali terhadap kliennya, Bachtiar Abdul Fatah, dalam kasus bioremediasi.
Padahal sebelumnya Bachtiar telah dibebaskan dan dinyatakan tidak terkait kasus bioremediasi, berdasarkan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tertanggal 27 November 2012. Putusan praperadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu menyatakan, penahanan dan penetapan tersangka terhadap Bachtiar Abdul Fatah dalam kasus bioremediasi tidak sah.
Namun pada 17 Mei 2013, Kejagung tetap melalukan penuntutan sekaligus kembali melakukan penahanan terhadap Bachtiar Abdul Fatah, serta melimpahkan kasusnya untuk disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 21 Mei 2013.
Selain penetapan masa tahanan yang carut-marut, permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Vice President Supply Chain Management (SCM) Chevron ini pun tak pernah diluluskan hakim. Permohonan penangguhan penahanan kembali diajukan Bachtiar pada sidang terakhir sebelum Lebaran, 1 Agustus 2013. Namun kembali tak diluluskan oleh majelis hakim.
“Alasan Kejagung tetap melakukan penuntutan dan “menyeret” klien kami ke persidangan tersebut, menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah berdasarkan Surat MA RI Nomor: 316/BP/Eks/03/2013 tanggal 21 Maret 2013. Karena sampai beberapa kali mengikuti sidang kami belum mendapat tembusan atau ditunjukkan tentang adanya surat MA itu, maka pada Jumat, 2 Agustus 2012 lalu kami melakukan penelusuran,” tutur Maqdir di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2013.
Penelusuran Berliku
Maqdir mengaku sempat tercengang, karena pimpinan MA yang ditemuinya hari itu, mengaku tidak tahu menahu tentang surat yang disebut-sebut oleh Kejagung itu. Bahkan surat itu tidak ditemukan, meski staf pimpinan MA sudah membongkar semua file untuk bulan Maret 2013. Maqdir kemudian diminta mencari tahu keberadaan surat itu ke Bidang Pengawasan MA. Dan ternyata surat MA yang dijadikan rujukan Kejagung itu ada di sana.
Meski demikian, lanjut Maqdir, secara hukum kliennya tidak bisa dituntut kembali berdasarkan surat MA tersebut. Karena surat MA RI Nomor: 316/BP/Eks/03/2013 tanggal 21 Maret 2013 itu hanya surat korespondensi biasa, bukan surat pembatalan atas Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tertanggal 27 November 2012 yang telah membebaskan Bachtiar dari segala tuntutan dan penahanan.
“Menurut hukum, Putusan Pengadilan apalagi yang sudah berkekuatan hukum tetap, jelas tidak bisa dibatalkan, disimpangi, dianggap menjadi tidak ada dan/atau “dibunuh”, hanya dengan suatu surat korespondensi biasa,” tegas Maqdir.
Dengan segala kesewenang-wenangan yang terjadi terhadap Bachtiar Abdul Fatah, Maqdir menilai telah terjadi suatu proses peradilan sesat, yang dilakukan jaksa penuntut umum dalam kasus bioremediasi yang menjerat kliennya, yang nyata-nyata merugikan hak-hak Bachtiar sebagai warga negara yang dilindungi oleh Konstitusi (hukum dasar negara) dan konvensi hak sipil politik internasional.
Sejumlah pasal yang telah dilanggar JPU demi memuaskan hasrat dan ambisinya mempidanakan Bachtiar, diantaranya Pasal 140 ayat (1) jo. Pasal 143 ayat (1) dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur bahwa proses penuntutan dan pelimpahan perkara ke pengadilan (dijadikan Terdakwa) hanya bisa dilakukan pada tersangka yang berkasnya telah dinyatakan lengkap. Sedangkan status Bachtiar sebagai tersangka telah dibatalkan oleh Putusan Praperadilan.
“Pasal 21 ayat (4) KUHAP juga mengatur, yang dapat ditahan adalah Tersangka atau Terdakwa, sedangkan klien kami sebagaimana disebutkan di atas, menurut hukum seharusnya tidak dapat ditahan karena sudah tidak lagi menjadi Tersangka. Dengan kata lain dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum telah melakukan penahanan yang sewenang-wenang,” terang Maqdir.
Diseretnya kembali Bachtiar sebagai terdakwa kasus bioremediasi berikut penahanannnya, kata Maqdir, juga melanggar Pasal 7 Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa “tidak seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”. Sedangkan jaksa penuntut umum jelas-jelas melanggar KUHAP.
Langgar Peraturan HAM Internasional
Peradilan sesat yang terjadi pada diri Bachtiar, lanjut Maqdir, juga melanggar Pasal 9 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi berdasarkan Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Undang-Undang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Dalam pasal 9 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik itu disebutkan, “Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on sich grounds and in accordance with such procedure as are established by law”.
Artinya, “setiap orang berhak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum”,.
“Apa yang dilakukan jaksa penuntut umum terhadap Bachtiar, juga melanggar UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UUD 1945 sebagai Hukum Dasar di negara ini. Dan jika ini dibiarkan, maka akan sangat berbahaya karena dapat menjadi preseden di kemudian hari, dimana Kejaksaan dapat dengan semena-mena melakukan upaya paksa hanya dengan dasar suatu surat yang notabene bukan merupakan dokumen resmi yang digunakan dalam suatu proses peradilan,” papar Maqdir.
Apa yang menimpa Bachtiar ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Tak terkecuali Ikatan Alumni (IKA) ITS, yang telah mengadu ke berbagai lembaga negara. Mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Kejaksaan, hingga Komisi Yudisial. Mereka berharap, ada secercah keadilan untuk Bachtiar yang terpaksa merayakan “Hari Kemenangan” dbalik jeruji tahanan.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Berita terkait:
Dalam Persidangan Bachtiar, Saksi KLH Kembali Tegaskan Bioremediasi CPI Sudah Sesuai Aturan: https://www.dunia-energi.com/dalam-persidangan-bachtiar-saksi-klh-kembali-tegaskan-bioremediasi-cpi-sudah-sesuai-aturan/
Jungkir Balik Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kasus Bioremediasi: https://www.dunia-energi.com/jungkir-balik-pertanggungjawaban-pidana-dalam-kasus-bioremediasi/
Sebagai alumni ITS, saya mendukung sepenuhnya langkah IKA ITS utk memperjuangkan hak bebas tanpa syarat Bpk Bachtiar..Teruskan Perjuangan Melawan Ketidakadilan ini.