JAKARTA – Indonesia menjadi salah satu negara yang disorot lantaran penggunaan energi fosil yang masih terbilang tinggi, terutama batu bara maupun minyak bumi yang dinilai berkontribusi tinggi menghasilkan emisi. Negara-negara maju Eropa serta Amerika Serikat terus mendesak adanya transisi energi untuk merespon terus meningkatnya emisi gas buang dunia.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menilai dorongan dari para negara maju tersebut kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia yang rata-rata masih membutuhkan energi fosil untuk tumbuh harus disikapi secara bijak. Ia menegaskan perhatian terhadap emisi tidak bisa dipandang sebelah mata tapi di sisi lain harus juga dilihat posisi negara maju tersebut yang ternyata telah melalui masa produksi emisi yang sangat tinggi dan baru-baru ini saja mendorong transisi energi.
Menurut Komaidi, dari aspek konsep dan teori terkait transisi energi, Environmental Kuznet Curve (EKC) menyebutkan bahwa hubungan antara degradasi lingkungan (produksi emisi) dengan pendapatan per kapita suatu negara akan membentuk kurva parabola.
Pada tahap awal, suatu negara akan berfokus pada meningkatkan pendapatan per kapita yang disertai dengan meningkatnya produksi emisi. Titik balik akan terjadi ketika produksi emisi telah mencapai level tertinggi dan pendapatan per kapita suatu negara pada saat yang sama telah berada pada level yang tinggi.
“Kajian ReforMiner menemukan bahwa titik balik produksi emisi dari negara-negara di Kawasan Eropa rata-rata terjadi ketika pendapatan per kapita mereka telah lebih dari US$30.000 per kapita,” kata Komaidi, Rabu (22/9).
Menurut dia, secara umum, negara-negara di Kawasan Eropa baru memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemanfaatan EBT ketika tingkat kesejahteraan meraka berada pada level yang cukup tinggi.
Contoh lainnya adalah porsi EBT pada bauran energi primer Amerika Serikat pada tahun 2020 ternyata hanya baru sekitar 12% terhadap total konsumsi energi mereka. Sementara pada tahun yang sama pendapatan per kapita Amerika Serikat tercatat sekitar US$64.000 per kapita.
Pada 2020, pendapatan per kapita Indonesia tercatat baru sekitar US$3.900 per kapita atau sekitar 6% dari pendapatan per kapita Amerika Serikat.
“Karena itu, ketika porsi EBT Amerika Serikat dalam bauran energi mereka baru sekitar 12%, sementara Indonesia memaksakan diri mencapai porsi 23% dalam bauran energi primer nasional dapat dikatakan tidak cukup proporsional,” kata Komaidi.(RI)
Komentar Terbaru