JAKARTA – Penolakan terhadap revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang PLTS Atap terus bergulir. Berdasarkan salinan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yang telah beredar, terdapat perubahan ketentuan soal tarif ekspor-impor listrik dari produsen listrik PLTS Atap kepada PT PLN (Persero), dari yang semula tarifnya 65%, menjadi 100%.

Hal ini dianggap merugikan PLN dan berpotensi membahayakan keuangan negara. Apalagi kondisi saat ini PLN mengalami over supply listrik yang begitu besar. Tak hanya itu, PLN juga dianggap rugi karena produsen PLTS Atap tidak memikirkan infrastruktur transmisi listrik, karena semuanya sudah disiapkan PLN.

Abrar Ali, Ketua Serikat Pekerja (SP) PLN, mengatakan kebijakan revisi tarif ekspor impor listrik PLTS Atap yang sedang dibahas pemerintah, akan sangat merugikan PLN jika aturan tersebut betul-betul diterapkan.

“Sikap SP PLN adalah jika jadi pemburu, berburulah di padang rimba, jangan di kebun binatang. Bukalah usaha-usaha lain yang lebih produktif, jangan membebani PLN. PLN ini sudah berat, utangnya saja sudah Rp496 triliun, jadi kalau bisa jangan dibebani lagi dengan transaksi-transaksi yang lain, yang nanti juga akan membebani PLN dan keuangan negara kita,” katanya Abrar, dalam diskusi virtual sekaligus peringatan hari lahirnya SP PLN ke-22, Rabu (15/9).

SP PLN, kata Abrar, berharap revisi Permen ESDM 49/2018 tidak terjadi, karena nanti pada ujungnya transaksi-transaksi yang terjadi itu PLN yang harus memikul bebannya, bahkan negara yang harus menanggung melalui subsidi. “Kami berharap ditengah masa pandemi ini jangan menambah lagi beban-beban kepada PLN,” kata Abrar.

Dewanto Wicaksono, Sekjen Serikat Pekerja (SP) Pembangkitan Jawa Bali, menambahkan dengan adanya Permen ESDM yang baru (Permen ESDM 26/2021), nantinya 100% PLN harus membeli listrik yang diproduksi produsen PLTS Atap dengan harga yang sama seperti kWh listrik yang dijual kepada pelanggan PLN.

“Nah, PLN membeli sesuai dengan harga jual, padahal PLN harus menyalurkan melalui transmisinya PLN, dan itu tidak dihargai. Artinya, ketika 1:1 itu ada biaya yang kemudian harus ditanggung oleh PLN, jadi PLN beli dan dijual dengan harga yang sama, ini apakah tidak merugikan?,” ungkap Dewanto.

Sebelumnya, dengan skema 0,65 : 1 saja PLN sudah tidak cukup memiliki keuntungan, terlebih jika skemanya diubah 1 : 1, dipastikan PLN mengalami kerugian.

Dewanto menekankan sebaiknya tidak ada aturan yang demikian, apalagi aturan itu diberlakukan di daerah yang surplus listrik. “Kalau untuk di daerah yang listriknya kurang atau masih menggunakan BBM oke, tapi kalau di lokasi yang listriknya surplus, ini sangat merugikan PLN. Kita harus melihatnya jangan secara parsial, tapi dengan helicopter yang lebih tinggi, sehingga ini terlihat lebih jelas,” kata Dewanto.(RA)