JAKARTA – Rencana holdingisasi dan privatisasi PT PLN (Persero) dinilai merupakan sebuah langkah yang bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan rakyat dan pekerja.
Sebelumnya Kementerian BUMN berencana membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap-batubara (PLTU), yang khusus untuk panas bumi akan dipisahkan dari PLN milik Pemerintah. Setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, aset dan saham tersebut akan dijual melalui penawaran umum perdana (IPO).

Ian Mariano, Southeast Sub-regional Secretary Public Services International (PSI), menekankan listrik merupakan kebutuhan, kepentingan strategis bagi negara dan berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu pemerintah harus menjaga kepemilikan dan bekerja untuk memastikan akses universal dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon.

“Privatisasi layanan energi tidak akan memungkinkan akses universal atau memungkinkan transisi mendesak ke generasi rendah karbon, seperti yang dipersyaratkan dalam Kesepakatan Iklim Paris dimana Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025,” ujarnya, dalam konferensi pers virtual yang digelar oleh SP PLN Group, Rabu (15/9).

M Abrar Ali, Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, menegaskan kembali pernyataan sikap menolak holdingisasi PLTP jika tidak diserahkan kepada PLN sebagai holding perusahaanya. Penolakan juga disampaikan SP PLN jika holdingisasi PLN dilanjutkan dengan privatisasi atau penjualan saham PLN atau anak perusahaanya melalui mekanisme IPO di pasar modal.

“Jika privasitasi PLN itu dilakukan, dan swasta masuk yang nota bene berorientasi untung, dampaknya akan memacu kenaikan tarif listrik. Kenaikan tarif listrik inilah hampir dipastikan terjadi jika PLN sudah dikuasai swasta yang nota bene profit oriented,” ujar Abrar.

Dewanto Wicaksono,Sekjen SP-PJB, menyatakan pihaknya sepakat, sesuai putusan judicial review di MK, sektor pelayanan energi dan pelayanan publik seperti PLN tidak boleh diprivatisasi.

“Sektor pelayannan publik dan energi harus tetap dibawah kendali negara melalui BUMN yang langsung dikontrol DPR dan mengacu pada aturan konstitusi,” ujarnya.

Abrar menambahkan, para pengambil kebijkan di negeri ini bahkan Presiden Jokowi hendaknya menilik sejarak. Bagaimana perjuangan para perintis PLN yang dengan susah payah dengan korban darah dan air mata menasionalisasi perusahaan listrik Belanda menjadi PLN yang sekarang.

“Perjuangan para perintis PLN serta amanat konstitusi ini harus tetap ditegakkan. PLN tidak diprivatisasi serta tidak diserahkan ke pemilik modal yang lebih mengejar keuntungan dibandingkan pelayanan ke rakyat dan bangsa,” ujarnya.(RA)