JAKARTA – PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), anak usaha PT PLN (Persero), berkomitmen berperan aktif dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Salah satunya melalui pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang saat ini utilisasinya baru 0,154 GW.

Iwan Purnama, Direktur Pengembangan dan Niaga PJB, mengatakan untuk pengembangan PLTS perlu dukungan kebijakan seperti dimasukkan semua perencanaan yang ada dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Selain itu, menciptakan pasar PLTS dengan meningkatkan kapasitas dan menetapkan target pengembangan PLTS yang jelas.

“Perlu harmonisasi antara supply dan demand dalam rangka akselerasi penambahan pembangkit baru,” kata Iwan, dalam Webinar SUKSE2S bertajuk Pengembangan PLTS untuk Kemerdekaan Energi; Sampai Kapan Harta Karun Terbesar di Indonesia Disia-siakan?, Kamis (26/8).

Selain Iwan, hadir menjadi pembicara Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Baru Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya, Wakil Direktur Utama & Group CEO PT Indika Energy Tbk, Direktur Pengembangan PT Bukit Asam Tbk Fuad IZ Fachroeddin, Vice President Technical & Engineering Pertamina Power Indonesia Norman Ginting dan Direktur Utama PT Sky Energy Indonesia Tbk Christoper Liawan.

Menurut Iwan, dari sisi pengadaan juga diharapkan ada standarisasi aturan dan meningkatkan transparansi proses lelang, serta strandarisasi PPA yang bankable dengan alokasi risiko yang adil. Dari sisi eksekusi proyek, tuturnya, ada kemudahan dan flesibilitas dalam perizinan dan penyiapan lahan, termasuk perizinan waduk yang dikelola oleh Kementerian PUPR.

“Hal lain adalah relaksasi persentase penggunaan permukaan waduk untuk mendanai PLTS terapung serta penguasaan teknologi dan kesiapan industri pendukung untuk bunga rendah,” kata dia.

Menurut Iwan, PJB telah mempunyai roadmap pengembangan EBT dan sudah sejak lima tahun lalu mempunyai PLTS Cirata. Lalu ada PLTB Tulungagung. “Kami sedang merencanakan hybrid beberapa pembangkit yang dioperasikan PJB. Kami support UID, contohnya di Bali, stasiun pengisian listrik energinya dari rooftop solar panel. Ini semua jangka pendek,” kata dia.

Jangka menengah, PJB bersinergi dengan mitra, membangun PLTD yang bisa hybrid. Bisa bangun PLTS Kota Panjang dan Karangkates dan ekspansi PLTS Cirata dimana aturan 5 persen bisa dinaikkan. Kami kembangkan juga PLTA Batangtoru, PLTB di Tanah Laut, Kalimantan.

“Untuk PLTS Cirata, melalui anak usaha PJB share-nya 51% bentuk PJB Masdar solar energi dengan perusahan UEA. Lendernya adalah Sumitomo, Mitsui Corp. Standard chartered singapura. FS pada 2 Agustus, sekarang proses konstruksi diharapkan beroperasi September 2022. Akan bangun smart controller dengan PLTA kami yang ada di dekat situ. Kami akan bangun transmisi kurang lebih 15 kilometer,” kata Iwan.

Chrisnawan menuturkan pemanfataan EBT di Indonesia masih rendah. Untuk itu, semua energi terbarukan akan dikembangkan, namun kecepatannya melihat dari teknologi dan competiveness teknologi tersebut. “Teknologi surya besar tapi utilisasinya kecil. Saat ini kami sedang finalisasi pemuktahiran teknologi EBT, salah satunya surya yang potensinya besar,” kata dia.

Dia menuturkan salah satu pertimbangan Kementerian ESDM mendorong PLTS adalah harganya yang terus turun dan animo yang meningkat di tanah air. Untuk itu, regulasi untuk mendukung pengembangan PLTS dipersiapkan. Saat ini regulasi tersebut tingga menunggu selesainya RUPTL.

Kementerian ESDM mendorong adanya Permen PLTS Atap yang memberikan insentif lebih partisipasi masyarakat, yakni ketentuan ekspor yang lebih besar dari 65% dan kelebihan akumulasi selisih dinihilkan diperpanjang. “Selain itu, jangka waktu permohonan PLTS Atap lebih singkat, adanya pusat pengaduan sistem PLTS atap untuk menerima dan menindaklanjuti pengaduan, perluasan tidak hanya pelanggan PLN saja tapi dari pelanggan di luar wilayah usaha non PLN, hingga mekanisme pelayanan diwajibkan,” kata Chrisnawan.

Namun, pengembangan PLTS bukan tanpa tantangan, khususnya kemampuan industri solar PV dalam negeri yang baru pada tahap assembly modul surya. Pengembangan industri solar PV dalam negeri ada pada skala ekonomi yang kecil, sehingga tidak kompetitif. “Salah satu komponen PLTS yang penting yaitu inverter belum dapat diproduksi dalam negeri, teknologi penyimpanan energi masih mahal, dan kemampuan produksi dalam negeri juga masih terbatas untuk mendukung proyek PLTS skala besar,” kata Chrisnawan.

Azis Armand mengatakan Indika sejak tiga tahun terakhir sudah melakukan transformasi dengan target intermediate, dimana pendapatan batu bara dan non batu bara bisa seimbang 50:50 pada 2025.

“Awal tahun ini kami mendirikan join venture dengan salah satu pengembang PLTS di India, kita sebutnya EMITS. EMITS sudah mengembangkan lebih 550 MW di India, mayoritas kepemilikan dipegang TPG,” ungkap Azis.

Menurut Azis, target komitmen net zero emission akan dicapai Indika melalui perubahan portfolio, dan melakukan dekarbonisasi di anak usaha yang akan berkontribusi ke net zero emission. “Kami sudah diskusikan bahwa potensi PLTS sangat besar karena PLTS akan mempunyai suatu ekosistem tertentu. Kami ingin menjadi bagian dari ekosistem solar PV di Indonesia, baik melalui anak usaha EMITS dan lainnya,” kata dia.(RA)