JAKARTA – Realisasi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT)tercatat masih sebesar 11,31 % pada 2020, jauh dari target bauran EBT ditetapkan sebesar 23 % pada 2025. Bauran energi primer pembangkit listrik masih didominasi oleh energi fosil, yang tidak bisa diperbaharui (unrenewable) dan tidak ramah lingkungan (environmentally unfriendly).

“Proporsi bauran energi pembangkit listrik PLN, terdiri dari batubara sebesar 57,22%, disusul gas 24,82%, BBM 5,81%, sedangkan proporsi EBT baru mencapai sebesar 12,15%,” ungkap Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi UGM, Rabu(25/8).

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero) telah melakukan berbagai upaya meningkatkan EBT dalam bauran energi. Salah satunya adalah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Sistem PLTS Atap merupakan produksi listrik ramah lingkungan, yang komponennya meliputi modul surya, inverter, sambungan listrik pelanggan, sistem pengaman, dan sistem meter kWh ekspor-impor.

Menurut Fahmy Radhi, selain untuk meningkatkan EBT dalam bauran energi, PLTS Atap membuka peran serta masyarakat dalam penyediaan dan pemanfatan listrik tenaga surya.
Bedasarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap, semua pelanggan PLN, terdiri Sosial, Rumah Tangga, Komersial, Industri dan Pemerintah, diperbolehkan untuk memasang sistim PLTS Atap dengan skema 1:0,65.

“Listrik yang diproduksi oleh PLTS Atap dapat diekspor ke jaringan PLN pada siang hari, dan digunakan oleh pengguna PLTS Atap pada malam hari setelah dikurangi 35% sebagai kompensasi biaya kepada PLN,” kata Fahmy.

Dalam draft revisi Permen ESDM No. 49/2018 nantinya akan mengubah skema ekspor-impor listrik PLTS Atap ke jaringan listrik PLN dari 1:0,65 menjadi 1:1. Dengan skema 1:1 semua listrik yang diekspor siang hari dapat 100% diimpor kembali pada malam hari. Skema 1:1 memang menghilangkan kompensasi yang diterima PLN sebelumnya.

“PLN sesungguhnya tidak menderita kerugian dan tidak menanggung biaya penyimpanan riil, yang secara khusus untuk menyimpan kelebihan listrik. Tanpa PLTS Atap pun, PLN harus menyediakan sarana dan prasarana transmisi dan distribusi listrik,” ujar Fahmy.

Dia menambahkan bahwa PLN juga tidak mengeluarkan biaya investasi PLTS Atap dan biaya pembelian listrik dari pengguna PLTS Atap.
Apabila terjadi surplus ekspor produksi listrik PLTS Atap, surplus itu dapat langsung dikonsumsi pelanggan terdekat dari titik pembangkitan pengguna PLTS, tanpa menyimpan surplus dari pengguna PLTS Atap. Dengan menggunakan net metering system, penyimpanan surplus, rata-rata sekitar 15%-20%, lebih bersifat penyimpanan virtual. PLN hanya mencatat surplus dari pengguna PLTS Atap dan menagih tagihan ke pelanggan, yang akumulasi tagihan per bulan menjadi pengurangan tagihan pengguna PLTS Atap.

Fahmy menekankan perubahan skema dari 1:0,65 ke 1:1, seperti yang tercantum pada draft revisi Permen ESDM No. 49/2018, sesungguhnya tidak merugikan bagi PLN. Bahkan dengan PLTS Atap menjadikan pembangkit dan produksi listrik PLN bertambah green berbasis EBT, yang meningkatkan proporsi EBT dalam bauran energi PLN. Selain itu, pengembangan PLTS Atap juga dapat mendorong berkembangnya investasi, penyerapan tenaga kerja dan tumbuhnya industri PLTS Atap di dalam negeri.

“Meskipun demikian, dalam implementasinya, sudah seharusnya Kementerian ESDM ikut menjaga kualitas layanan PLN terhadap pelanggan pengguna PLTS Atap dan memperhatikan kemampuan jaringan. Salah satunya dengan menetapkan kuota kapasitas PLTS Atap dalam satu wilayah sistm ketenagalistrikan,” kata Fahmy.(RA)