JAKARTA – Tim evaluasi yang dibentuk pemerintah untuk melakukan penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dinilai belum bekerja maksimal. Buktinya, hingga menjelang tahun ke-5 pasca Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) diterbitkan, belum ada kemajuan yang berarti dari proses renegosiasi yang dilakukan.
Penilaian ini diungkapkan Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Idris Lutfi di Jakarta, Jumat, 28 Juni 2013. Menurutnya, sesuai amanat pasal 169 UU Minerba, proses renegosiasi atau penyesuaian isi Kontrak Karya dan PKP2B harus tuntas paling lambat satu tahun sejak UU 4/2009 diterbitkan.
Dari situ, Idris melihat pemerintah kewalahan menghadapi perusahaan-perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya dan PKP2B. “Hingga saat ini kita melihat proses renegoisasi berjalan alot dan tidak dapat terealisasi dengan maksimal, khususnya yang terkait dengan perusahaan-perusahaan besar,” ujar Idris. Padahal 2014 mendatang adalah tahun ke-5 pasca terbitnya UU 4/2009, dan itu tinggal enam bulan lagi.
Berangkat dari itu, Idris pun mempertanyakan, mengapa proses renegosiasi sangat alot. Padahal sudah sangat jelas kedudukan hukum kontrak-kontrak pertambangan yang berlaku di Indonesia, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut ketentuan UU 4/2009, ujarnya, perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya dan PKP2B, harus tunduk pada hukum nasional Indonesia. Itu artinya, mereka harus mau menyepakati butir-butir renegosiasi kontrak yang disodorkan pemerintah, mengingat butir-butir renegosiasi itu mengacu pada isi UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Butir-butir renegosiasi yang diusulkan pemerintah, antara lain mengenai luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang atau jasa pertambangan dalam negeri.
“Masyarakat menilai tim renegoisasi lamban dan tidak berkerja dengan optimal dalam menyelesaikan beragam renegoisasi,” kata Idris. Padahal ada setumpuk permasalahan terkait pengelolaan sumber daya alam pertambangan Indonesia, yang ada harus segera diselesaikan oleh tim renegoisasi.
“Namun ketika melihat status renegosiasi Kontrak Karya masih belum ada kemajuan, kami menilai Tim Evaluasi Untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan PKP2B yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2012 pada 10 Januari 2012, belum bekerja secara maksimal,” tandasnya.
Menyoroti Freeport
Terkait renegosiasi Kontrak Karya yang berjalan lambat, Idris secara terbuka menyoroti salah satu perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Tanah Air, yakni PT Freeport Indonesia. Hingga saat ini, ia mencatat bahwa hanya butir kenaikan royalti emas dari 1% menjadi 3,75% dari harga jual per ton, yang disetujui Freeport. Butir-butir yang lain belum disepakati.
“Kontrak karya antara Freeport dan Pemerintah Indonesia belum memenuhi rasa keadilan, sehingga banyak butir-butir yang harus tunduk dengan UU” ungkap Idris.
Legislator dari Sumatera Utara juga menyoroti komposisi saham Freeport Indonesia, yang 90,64% masih dipegang Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan induk Freeport Indonesia yang berkedudukan di Amerika Serikat ini, listing di bursa efek New York dengan kode FCX.
Maka dari itu, ujarnya, pemerintah harus mendesak Freeport untuk menyepakati butir renegosiasi yang terkait dengan divestasi (pelepasan sebagian saham asing ke pihak nasional, red). Sesuai amanat UU Minerba, pemegang saham asing di Freeport McMoran harus mendivestasikan sahamnya ke pemerintah, hingga pemerintah menguasai 51% saham Freeport Indonesia.
“Divestasi menjadi penting, karena dengan dikuasainya saham 51% oleh pemerintah maka kontrol dan pengawasan kegiatan pertambangan akan semakin baik, optimalisasi penerimaan negara” jelas Idris. Sesuai amanat UU Minerba, kewajiban divestasi mulai berlaku, setelah perusahaan tambang yang brsangkutan berproduksi selama lima tahun.
Aturannya, lanjut Idris, badan usaha yang sahamnya dimiliki oleh asing, wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau badan usaha swasta nasional, hingga kepemilikan nasional menjadi 51%.
(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru