JAKARTA – Pemerintah mengklaim terus menerima masukan dari sejumlah pemangku kepentingan dan masyarakat terkait kisruh penolakan izin pertambangan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Sulawesi Utara. Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Tata Kelola Minerba, mengatakan PT TMS merupakan perusahaan Kontrak Karya Generasi 6 dan telah melakukan kegiatan eksplorasi sejak 1997. Informasi yang beredar di masyarakat soal luas wilayah kerja TMS disebut mencapai 42 ribu hektare.

“Izin lingkungan yang keluar dan bisa dikelola hanya 65,48 hektare,” kata Irwandy dalam webinar “Bincang Tambang Sangihe” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum ESDM IKA FH Universitas Diponegoro, Jumat (25/6).

Irwandy mengatakan pihak Kementerian ESDM, masih merumuskan rencana pemangkasan wilayah kerja TMS dari 42.000 hektare menjadi 25 ribu hektare. “Tapi angka itu belum final,” kata dia.

Menurut Irwandy, kadar emas di Tambang Sangihe yang menjanjikan investasi rencana kerja senilai US$ 6 juta sebenarnya termasuk rendah dibanding tambang-tambang lain di Indonesia yakni maksimal di tahun ke-5 penambangannya hanya 1,09 gram per ton. “Ini nanti akan sangat sensitif dengan harga emas, kalau kadar peraknya lumayan besar. Dibandingkan dengan tambang di Cikotok misalnya bisa sampai 10 sampai 20 gram per ton,” ujar Irwandy.

Irwandy menegaskan Kementerian ESDM tidak mungkin mengambil keputusan jika tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. “Saat ini, Dirjen Minerba sedang tertibkan izin-izin usaha pertambangan, termasuk PKP2B dan Kontrak Karya, PMDN maupun PMA,” kataIrwandy.

Derita Prapti Rahayu, Pakar Hukum Pertambangan, mengatakan bahwa polemik kasus Sangihe terjadi karena ada benturan regulasi, dalam hal ini Undang – Undang (UU) Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Masalah pertambangan yang timbul saat ini juga tak lepas sebagai efek domino terbitnya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, yang dinilai oleh Derita Prapti lebih sentralistik, oligarki, dan berpihak pada perusahaan pertambangan.

“Saat ini seluruh kategori izin pertambangan ditarik ke pusat. Saya harap kekuasaan di pemerintah pusat yang menjadi legitimasi untuk izin-izin tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada. Harus dilihat apakah relevan atau sinkron dengan undang lainnya, seperti UU tentang RTRW atau regulasi soal daerah pesisir,” kata Derita.(RA)