JAKARTA – Sidang kasus bioremediasi hari ini, Jumat, 21 Juni 2013 digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, dengan agenda pembacaan pledoi (pembelaan) oleh terdakwa Widodo dan penasehat hukumnya. “Saya telah menjadi korban diskriminasi hukum oleh jaksa,” ujar karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ini berlinang air mata.
Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Sudharmawati Ningsih ini, dipenuhi oleh rekan-rekan Widodo di CPI, yang mengenakan seragam dan setia mengikuti sidang untuk memberi semangat saat pembacaan pledoi.
Saat sidang dibuka, ada dua orang jaksa penuntut umum (JPU) yang hadir, namun setelah skors sholat Jumat, hanya jaksa Perry Ekawirya yang bertahan di meja JPU. Oleh JPU, Widodo dituntut 7 tahun penjara.
Widodo sempat menangis, tak kuasa menahan emosi saat membaca pledoi pribadinya, terutama saat menceritakan kegundahannya. Sebagai karyawan di level terbawah, ia hanya ingin menjalankan dengan baik perintah atasan. Namun ia malah dijadikan tersangka dan didakwa di depan pengadilan, atas sesuatu yang sama sekali tidak terjangkau oleh kewenangannya.
Sayangnya, saat Widodo begitu ingin majelis hakim mendengarkan fakta dan berbagai hal yang ia alami dan rasakan, beberapa hakim tampak sibuk berdiskusi sendiri, senyum-senyum dan tidak memperhatikan pembacaan pledoi Widodo tersebut.
Tak jelas apakah hakim menganggap Widodo hanya sedang “acting” membela diri seperti para koruptor sungguhan. Namun sungguh miris, jika apa yang dijelaskan Widodo di depan persidangan ini lewat begitu saja. Karena tampak sekali, dalam penanganan kasus bioremediasi ini telah terjadi diskriminasi hukum, seperti yang telah dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dalam pledoinya Widodo menceritakan bahwa dalam perkara yang didakwakan ini, perannya adalah sekedar menjalankan perintah para pimpinan atau jajaran manajemen CPI sesuai dengan tugasnya.
“Sungguh hingga hari ini saya tidak mengerti dan tidak bisa menerima, mengapa harus saya, seorang karyawan biasa, yang dipilih untuk dijadikan korban dan diposisikan sebagai sasaran dakwaan. Saya diposisikan sebagai pemikul tanggung jawab dari masalah ini, sementara ada pihak-pihak yang justru lebih pantas bertanggung jawab berdasarkan otoritasnya dalam masalah ini, namun mereka tidak terusik sedikitpun,” ungkap pria 54 tahun ini.
Seperti dilaporkan Komnas HAM dalam hasil temuan setebal 400 halaman, penanggung jawab proyek bioremediasi CPI adalah tim IMS-REM, yang dipimpin oleh seorang karyawan warga negara Amerika Serikat. Menurut catatan Komnas HAM, Kejagung membatalkan sendiri pemanggilan pimpinan tim IMS tersebut pada tanggal 14 Nopember 2012.
Atasan Hanya Jadi Saksi
Dalam persidangan Widodo, para atasan Widodo, manager, dan general manager yang justru berwenang dalam penandatanganan kontrak, termasuk atasan yang memberikan perintah dan penilaian terhadap kinerja Widodo, hanya dihadirkan oleh jaksa sebagai saksi.
Para atasan Widodo itu menerangkan tugas Widodo, dan menjelaskan bahwa Widodo telah bekerja sesuai dengan kebijakan perusahaan. Mereka sendiri tidak dimintai pertanggungjawaban atas proyek ini oleh para penyidik kejaksaan.
“Kehadiran saya di rapat-rapat tender adalah atas perintah atasan karena saya orang lapangan, orang teknis yang diminta untuk membantu menjelaskan kondisi lapangan, agar kontrak benar-benar dimengerti oleh semua pihak, dan ini sesuai aturan tender di bisnis migas. Para atasan saya pula yang menandatangani dokumen kontrak, dan saya pun tidak pernah dipersoalkan kinerja saya oleh para atasan saya ini,” ujar Widodo.
“Apa yang sedang dipermasalahkan oleh JPU ini adalah kebijakan perusahaan, namun kemudian telah direkayasa agar bisa dibebankan kepada seorang karyawan rendahan seperti saya, yang tidak punya otoritas dan kewenangan untuk menentukan kebijakan perusahaan. Kini saya dan keluarga sayalah yang harus menanggung sengsara atas kedzaliman ini,” ungkap Widodo sambil menyeka air mata.
Mimpi Buruk Jelang Pensiun
Widodo yang memulai karirnya setamat STM di tahun 1978 dan bergabung dengan CPI (Caltex kala itu) di tahun 1991, telah berhasil menamatkan sarjananya pada usia 52 tahun dengan nilai IPK tertinggi di Universitas Riau pada 2010.
Tak mau menyerah dengan usia, Widodo pun melanjutkan studi ke jenjang S-2. Di usinya yang sudah mencapai 54 tahun dan hampir memasuki masa pensiun, Widodo berhasil menyelesaikan semua mata kuliah S2-nya, juga dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) tertinggi. Namun saat bersiap mengikuti sidang tesis, ia dikurung oleh kejaksaan, dimatikan segala mimpi dan cita-citanya.
Penahanan yang dilakukan oleh Kejagung nyatanya telah meninggalkan goresan dalam hati Widodo. Seperti yang diungkapkan Widodo dalam pledoinya, ia sangat menyesal karena kehilangan kesempatan menghadiri hari wisuda anaknya dan hari pernikahan keponakannya, karena harus menjalani penahanan oleh kejaksaan.
Padahal sang keponakan sudah tidak punya orang tua lagi, yang mengharapkan kehadiran Widodo sebagai wali nikah satu-satunya. Kini diusianya yang menjelang pensiun, di saat tesisnya hendak diselesaikan, Widodo menanti keadilan para wakil Tuhan untuk memberikan kembali kebebasannya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Kami dapat merasakan kesedihan dan kemarahan mas Widodo karena mengikuti semua beritanya dari awal. Baru kali ini ada terdakwa korupsi yang begitu masif dibela masyarakat, bahkan oleh kaum intelektual dan ahli hukum sekalipun. Pengecualiannya orang yang tak mengerti ceritanya dari awal atau orang yang sakit hati atau followers jaksa dan edison effendi nababan. Sedihnya lagi, Hakim ketua yang cantik ini ternyata bukanlah pengadil yang adil.
Tangkap dan usut motif para jaksa korup ini…ini lebih kejam dr membunuh…..
Untuk para hakim; Segala keputusan yang anda buat akan diminta pertanggung jawabannya bukan hanya di dunia ini namun sampai anda dipanggil oleh yang maha adil.
Mana berani JPU nya memanggil dan memeriksa expat…bisa2x USA-1 turun tangan ke RI-1..Ya itulah kalau pengadilan tebang pilih..para putra putri terbaik bangsa malah dihancurkan masa depannya.