JAKARTA – Meski langkahnya bertentangan dengan putusan peradilan yang sah, Kejaksaan Agung tetap ngotot menyeret Bachtiar Abdul Fatah ke persidangan kasus bioremediasi. Celakanya, jaksa mendakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia itu atas dasar keterangan Edison Effendi, seorang ahli yang telah berkali-kali berbohong.
Sidang kasus bioremediasi kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 12 Juni 2013, dengan agenda pembacaan dakwaan atas Bachtiar Abdul Fatah. Jaksa mendakwa Bachtiar telah memperkaya PT Sumigita Jaya, kontraktor proyek bioremediasi Chevron, sehingga merugikan negara USD 221.327. Alasan jaksa diantaranya, PT Sumigita tidak punya izin melakukan bioremediasi.
Selain itu, jaksa dalam dakwaannya mengatakan, mestinya aktivitas untuk lima SBF (Soil Bioremediation Facility) di Minas dan Kotabatak, Riau telah selesai, karena TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) tanah sudah dibawah 7,5%. Namun Bachtiar saat menjabat General Manager Sumatera Ligth South (SLS) Chevron, tetap menandatangani kontrak PT Sumigita Jaya.
Menanggapi dakwaan jaksa ini, penasehat hukum karyawan Chevron, Maqdir Ismail mengatakan, dakwaan jaksa itu terang mengacu pada keterangan ahli yang mereka tunjuk, yakni Edison Effendi. Selain itu, kalau mau merujuk pada aturan hukum yang benar, sebenarnya Bachtiar tidak boleh dibawa ke persidangan, karena sudah diputus bebas berdasarkan Putusan Praperadilan Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012.
“Putusan praperadilan itu menyatakan, penetapan Bachtiar sebagai tersangka tidak sah, dan tidak berdasarkan atas hukum. Putusan itu telah berkekuatan hukum tetap. Putusan praperadilan ini tidak bisa diabaikan, tetapi harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk oleh Kejaksaan Agung,” tandasnya.
Maqdir mencatat bahwa Kejaksaan Agung sangat ngotot mencari-cari alasan yang tak sesuai hukum, untuk menuntut Bachtiar. Misalnya dengan mengatakan ke publik bahwa vonis hakim telah memutus bersalah dua kontraktor Chevron, sehingga tuduhan mereka terhadap Bachtiar beralasan.
“Ini cara pandang jaksa yang keliru dan berbahaya bagi pembelajaran hukum bagi masyarakat. Putusan majelis hakim pengadilan korupsi atas dua terdakwa kontraktor Chevron itu, belum berkekuatan hukum tetap karena masih ada proses banding di tingkat pengadilan yang lebih tinggi,” ulasnya.
Putusan itupun tidak bulat, karena ada anggota majelis hakim bioremediasi, yakni hakim Sofialdi, yang mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda, red). Sofialdi justru menilai bahwa dakwaan primer dan subsider kepada kedua kontraktor Chevron itu tidak terbukti.
Menurut Maqdir, dakwaan terhadap Bachtiar juga sangat tendensius, dan mengabaikan fakta-fakta yang sesungguhnya. Jaksa juga jelas mengabaikan peraturan perundang-undangan, dan jaksa hanya mempergunakan keterangan Edison Effendi sebagai rujukan.
“Jika jaksa mendakwa Bachtiar karena menandatangani kontrak suatu proyek lingkungan dan jaksa menilai ada pelanggaran peraturan di bidang lingkungannya, maka jaksa harus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai pihak yang paling berwenang sesuai undang-undang sekaligus kompeten untuk menentukan pelanggaran aturan lingkungan ini,” tegasnya.
“Jaksa pun tak boleh terjebak pada keterangan Edison Effendi, ahli yang sarat dengan konflik kepentingan dan tak jujur, yang pernah dua kali gagal tender proyek bioremediasi Chevron, pernah mengancam karyawan Chevron, dan pernah berbohong di muka persidangan,” ungkap Maqdir lagi.
Dunia Energi pun sempat menangkap fakta dalam persidangan, terkait sejumlah kebohongan Edison Effendi. Diantaranya, Edison dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mengaku lulusan . Saat dikonfrontir dalam persidangan, ternyata bukan. Edison mengaku lulusan USU (Universitas Sumatera Utara).
Edison juga sempat menyangkal pernah ikut tender bioremediasi di Chevron. Namun saat dokumen-dokumen keikutsertaannya dalam tender bioremediasi Chevron dibuka di persidangan, ia akhirnya mengaku pernah ikut tender Chevron.
Edison juga sempat menampik pernah bertemu salah satu terdakwa, Endah Rumbiyanti di Chevron. Namun saat didesak oleh Rumbi dengan menceritakan sejumlah peristiwa terkait pertemuan itu, Edison akhirnya mengaku pernah bertemu Rumbi. “Sepertinya iya (pernah bertemu Rumbi), tapi waktu itu lebih cantik,” celetuk Edison seenaknya di depan Majelis Hakim.
Keterangan Palsu
Maqdir pun kembali mengungkapkan, dakwaan jaksa bahwa hanya tanah dengan TPH dibawah 7,5% – 15% yang boleh dibioremediasi, jelas merujuk keterangan Edison Effendi. Aturan batas TPH 7,5% – 15% bukan kutipan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 Tahun 2003, yang menjadi rujukan bioremediasi pada industri minyak dan gas (migas), sehingga menyesatkan.
“Kepmen LH 128/2003 hanya memuat keterangan bahwa, TPH maksimal adalah 15% untuk limbah tanah yang boleh diolah dengan bioremediasi, dan TPH 1% ke bawah dianggap aman buat lingkungan. Artinya TPH diatas 1% dan maksimal 15% boleh dibioremediasi sesuai Kepmen ini,” ujar Maqdir.
Belum lagi keterangan tiga ahli Kejaksaan Agung, dalam BAP yang sangat meragukan. Dimana isi BAP Edison Effendi, Prayitno, dan Bambang Iswanto, seluruhnya mulai dari kalimat, kata-kata, hingga titik-komanya, sama persis. “Mana mungkin ada BAP yang mirip copy paste begitu?,” tukas Maqdir.
Semua keterangan Edison pun telah dibantah ahli bioremediasi lainnya, baik dari ITB, IPB, maupun Lemigas. Hasil uji sampel Edison pun dinyatakan tidak akurat oleh para ahli, karena tidak diuji di laboratorium terakreditasi. Sehingga Dunia Energi mencatatnya tidak lebih sebagai keterangan palsu.
Lantas logika apa yang dipakai jaksa, sehingga tetap menggunakan keterangan Edison Effendi sebagai dasar dakwaan terhadap Bachtiar? “Pengadilan hanya perlu segera menghentikan proses hukum yang keliru ini,” tukas Maqdir menutup komentarnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru