JAKARTA – Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), hingga 2050 Indonesia akan menggunakan berbagai macam sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan bahwa saat ini Indonesia menggunakan bahan bakar fosil dan energi terbarukan.
“Saat ini kita masih impor minyak mentah, LPG, dan bensin. Jadi fokus sekarang adalah bagaimana caranya mengurangi impor, karena kami percaya bahwa jika impor semakin sedikit maka ketahanan energitentu akan semakin baik,” kata Djoko dalam diskusi virtual baru-baru ini.
Djoko mengakui bahwa selisih harga yang cukup jauh antara Bahan Bakar Nabati (BBN/Biofuel) dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) fosil lainnya menjadi tantangan tersendiri.
“Sebagai contoh, green gasoline saat ini harganya mencapai 19.000 dengan harga sekian apakah masyarakat mampu untuk membeli? Atau apakah negara mampu mensubsidi selisih harganya jika dijual dengan harga yang lebih murah?” ujarnya.
Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, menambahkan bahwa salah satu tujuan pengembangan biofuel, seperti biodiesel di Indonesia adalah untuk menekan angka impor BBM yang masih tinggi.
Dia menyampaikan, mengacu pada RUEN sebagai roadmap pengembangan biofuel pada tahun 2020 ditargetkan mencapai 8 juta kilo liter. Target ini tercapai dengan penggunaan biodiesel mencapai 8,4 juta kilo liter.
“Meskipun demikian dalam Grand Strategy National, ada penyesuaian yaitu penurunan target biodiesel sebanyak 15% dengan pertimbangan masuknya kendaraan listrik. Yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah bensin yang 50% masih impor,” kata Andriah.
Seperti diketahui, produksi minyak Indonesia terus menurun dan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, pemerintah Indonesia melakukan impor minyak. Oleh karena itu, pemerintah juga berupaya mencari bahan bakar alternatif untuk mengurangi impor minyak. Biofuel atau BBN menjadi salah satu fokus pemerintah untuk dikembangkan dan telah menjadi mainstream dari kebijakan energi Indonesia.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR), mengungkapkan bahwa ada harapan biofuel ini akan menjadi prime energy supply di Indonesia.
“Namun perlu disoroti beberapa hal, diantaranya mengenai rencana dan strategi pemerintah untuk masa depan biofuel di tengah perkembangan teknologi alternatif seiring dengan akselerasi transisi energi,” kata Fabby.
Julius Christian Adiatma, Penulis laporan “Critical Review on the Biofuel Development in Indonesia” menyebutkan bahwa penggunaan bahan bakar cair di Indonesia didominasi oleh sektor transportasi dan trennya terus meningkat. Dengan skenario business as usual, peningkatan konsumsi bahan bakar cair akan mencapai tiga kali lipat. Pada skenario intervensi teknologi, penetrasi kendaraan listrik dan penggunaan fuel cell dipilih sebagai solusi. Jika tidak direncanakan dengan baik pengembangan biofuel dan percepatan penetrasi kendaraan listrik akan bertabrakan pada suatu saat di masa mendatang.
“Tren global yang mengarah pada penggunaan kendaraan listrik juga menimbulkan ancaman bahwa investasi pada sektor biofuel berpotensi menjadi aset terdampar (stranded asset),” ujarnya.
Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia, mengatakan bahwa kebijakan pemerintah cenderung bersifat responsif bukan antisipatif dalam mengeluarkan kebijakan juga dalam hal biodiesel ini. “Kebijakan pemerintah itu sifatnya reaktif, tidak ada kebijakan yang bersifat antisipatif untuk teknologi baru yang akan datang,” katanya.
Bahan baku biodiesel yang saat ini masih bergantung pada sawit, juga menjadi sorotan. Dia menyebut jika ketergantungan pada sawit dalam pengembangan biodiesel merupakan suatu indikator ketidakberlanjutan.
Ricky Amukti, Engagement Manager Traction Energy Asia, juga menanggapi soal ketergantungan pada bahan baku biodiesel yang masih single feedstock dari sawit. Padahal, Indonesia dinyatakan memiliki potensi bahan baku lain seperti selulosa dari batang sawit yang dapat diolah menjadi bensin. Potensi lain yang ada juga biodiesel dari minyak jelantah yang memiliki emisi daur hidup yang lebih rendah yaitu sebesar 0,31 – 0,62 Kg CO2 equiv/L.
“Jika potensi ini direalisasikan akan ada enam juta kiloliter biodiesel yang dihasilkan dan 2,2 juta lapangan kerja baru yang akan tercipta,” kata Ricky.
IESR memandang penting bagi pemerintah untuk memastikan ketersediaan energi bagi masyarakat. Kedepannya, bahan bakar cair akan tetap dibutuhkan mengingat penetrasi kendaraan listrik di berbagai wilayah di Indonesia akan beragam rentang waktunya dan ada sektor transportasi yang akan sulit untuk dielektrifikasi. Melalui peluncuran kajian Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk, pertama mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. Kedua, menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. Ketiga, melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. Keempat, menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. Kelima mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.(RA)
Komentar Terbaru