JAKARTA – Mekanisme pemberian kompensasi kepada PT PLN (Persero) setiap tahun membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Untuk itu pembenahan mekanisme tarif akan ditingkatkan dengan mengoptimalkan penerapan tarif adjusment. Selain itu, juga akan dilakukan pembenahan dari sisi mekanisme pemberian subsidi bagi masyarakat.
Ubaidi Socheh Hamidi, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF), mengatakan sejatinya pencabutan subsidi terhadap pelanggan yang dikategorikan tidak berhak mendapatkan subsidi berdampak pada efisiensi anggaran subsidi, Namun sejak tariff adjustment tidak dijalankan sejak 2017, justru APBN semakin terbebani lantaran kompensasi untuk menutup selisih tarif yang diterapkan dengan tarif keekonomian semakin besar.
“Pada 2017-2019, total dana kompensasi mencapai Rp55,8 triliun. Kalau subsidi listrik dan kompensasi total Rp 202,9 triliun,” kata Ubaidi, Rabu (4/11).
Pada tahun ini, subsidi listrik dianggarkan sebesar Rp 54,4 triliun, sementara kompensasi diperkirakan mencapai Rp 22 triliun-Rp25 triliun. Total subsidi listrik plus kompensasi bahkan meningkat signifikan menjadi Rp 80,1 triliun dari Rp 53,2 triliun pada 2017. Angka tersebut diperkirakan terus meningkat apabila tidak ada perubahan.
Jika tarif listrik nonsubsidi tidak disesuaikan (diadjust), maka kompensasi yang diberikan pemerintah ke PLN akan semakin besar lantaran adanya gap dari biaya pokok produksi (BPP) dan tarif listrik yang saat ini berlaku di masyarakat. Berdasarkan kalkulasi pemerintah kompensasi pada 2020 sekitar Rp 17,94 triliun, berpotensi naik menjadi Rp 27,7 triliun pada 2021.
Menurut Ubaidi, strategi penyaluran subsidi tepat sasaran tidak akan optimal jika tidak dibarengi dengan penerapan tariff adjustment seperti sebelum 2017. Pembatasan subsidi listrik untuk pelanggan 450 VA, baru dapat menghasilkan penghematan hingga Rp 18 triliun jika tariff adjustment kembali berjalan.
“Walaupun ada potensi inflasi 0,138%, kalau tariff adjustment diberlakukan. Tetapi kalau tidak diterapkan, implikasinya ke beban kompensasi,” kata dia.
Hendra Iswahyudi, Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan dana yang digelontorkan pemerintah untuk menutup selisih tarif keekonomian dan tarif yang dibayarkan oleh masyarakat terus meningkat.
Kebijakan pembayaran kompensasi dimulai pada 2017 ketika sebagian pelanggan 900 VA ditetapkan tidak disubsidi. Kala itu anggaran subsidi memang mampu diturunkan. Namun, pada saat itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan menahan fluktuasi tarif listrik [tariff adjustment] bagi pelanggan nonsubsidi dengan alasan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat. Imbasnya, pemerintah harus memberikan dana kompensasi ke PLN.
“Sejak 2017 memang subsidi listrik seolah turun, tetapi kan ada kompensasi. Jadi ini seolah balik lagi ke era 2013 di mana semua pelanggan disubsidi. Ini (menahan tariff adjustment) mungkin sudah saatnya lagi kita pikirkan lagi,” kata Hendra.
Jika mau mengurangi beban terhadap APBN maka selain penerapan tariff adjusment juga perlu dilakukan penataan pemberian subsidi listrik. Pemerintah sendiri mulai mengkaji pemberian subsidi listrik secara langsung kepada masyarakat. Ini untuk meningkatkan efektifitas pemberian subsidi agar tepat sasaran.
Bambang Widianto, Staf Khusus Wakil Presiden sekaligus Sekretarif Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNKP2K), mengatakan pemerintah selama inipun telah mengupayakan agar subsidi listrik bisa tepat sasaran. Salah satunya dengan menyisir pelanggan mampu yang masih menerima subsidi mengacu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) seperti yang dilakukan pada 2017.
Saat ini, pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi listrik hanya ke pelanggan 900 VA yang masuk daftar masyarakat miskin dan rentan miskin, selain kepada seluruh pelanggan 450 VA. Namun, langkah ini tidak menjamin penyaluran subsidi tepat sasaran lantaran subsidi masih ke tarif listrik.
Untuk jangka pendek, Bambang menyarankan penyisiran pelanggan PLN penerima subsidi dilanjutkan ke pelanggan 450 VA. Dari data DTKS, dari total 23,9 juta pelanggan 450 VA, tercatat hanya 12,6 juta pelanggan yang masuk data tersebut. Artinya, masih terdapat 11,3 juta pelanggan 450 VA yang tidak berhak mendapat subsidi listrik.
Jika penyisiran dan perubahan skema ke subsidi langsung dijalankan, subsidi listrik bakal terpangkas signifikan. Bahkan, jika pemerintah masih ingin mempertahankan subsidi bagi 12 golongan pelanggan lainnya, tetap akan ada penghemat subsidi Rp11,8 triliun. “Kalau di APBN 2020 itu anggaran subsidi listrik Rp54,8 triliun, kalau menggunakan subsidi langsung hanya perlu Rp31 triliun. Tetap keluarkan uang, tetapi lebih tepat sasaran,” kata Bambang.(RI)
Komentar Terbaru