CILACAP – Kilang Cilacap dinilai mampu memproduksi benzene dan produk propylene masing-masing sebanyak 120 ribu ton per tahun dan 160 ribu ton per tahun yang merupakan senyawa hidrokarbon tak jenuh berbentuk gas sebagai bahan baku industri petrokimia.
“Dengan angka ini kami yakin Pertamina Kilang Cilacap akan mampu menjadi salah satu penopang kebutuhan bahan baku obat,” ujar Joko Pranoto, General Manager PT Pertamina (Persero) Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Kamis (17/9).
Joko mengatakan bahwa produk petrokimia akan menjadi lini bisnis yang dapat diandalkan di masa depan ketika terjadi transisi energi.
Menurut Joko, Pertamina berupaya mengidentifikasi peluang untuk masuk pada bahan baku farmasi dan logistik. Bersama PT Kimia Farma Tbk, Pertamina sudah melakukan penjajakan, dan telah dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional dan Direktur Utama Kimia Farma melalui virtual akhir Juli lalu.
“Sinergi pengembangan bahan baku obat ini berawal dari penjelasan dan kajian yang dilakukan Pertamina,” kata Joko.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan apresiasi positif kepada Pertamina yang berencana mengembangkan industri bahan baku obat parasetamol dari bahan baku Benzene dan Propylene.
Muhammad Khayam, Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kimia Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, mengatakan Kemenperin mendukung penuh segala upaya pengoptimalan potensi nilai tambah dari pengolahan produk turunan petrokimia guna menjadi bahan baku farmasi, seperti pengembangan bahan baku obat parasetamol.
“Jalinan kerja sama antara Pertamina dengan Kimia Farma yang sudah diinisiasi dalam rangka pengembangan industri bahan baku obat ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing industri kimia nasional,” kata Khayam, saat melakukan kunjungan ke Kilang Cilacap, Rabu (16/9).
Inisiatif yang dilakukan Pertamina, khususnya yang akan dijalankan di Refinery Unit IV Cilacap, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk terus meningkatkan kemandirian industri farmasi nasional.
“Sekaligus membantu menurunkan defisit neraca perdagangan Indonesia di sektor farmasi, mengingat 95% dari total kebutuhan bahan baku farmasi Indonesia masih dipasok melalui impor,” ujar Khayam.
Selama masa pandemi, berbagai upaya ditempuh pemerintah demi keberlangsungan roda perekonomian di tengah kondisi pandemi Covid-19. Hampir semua sektor industri terkena imbas akibat pandemi. Namun, industri farmasi masih mencatatkan kinerja positif karena didukung peningkatan dari permintaan terhadap obat-obatan atau suplemen dalam upaya menghadapi wabah Covid-19.
Khayam menjelaskan,ke depannya masih dibutuhkan pemikiran lainnya bagi nilai strategis dari kerjasama pengembangan industri bahan baku obat antara Pertamina dan Kimia Farma ini agar keduanya mendapat manfaat signifikan.
“Kemandirian Indonesia di sektor industri farmasi merupakan hal yang penting, terlebih dalam kondisi darurat kesehatan seperti saat ini,” tandas Khayam.(RA)
Komentar Terbaru