JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi harapan besar bagi subsektor energi terbarukan (ET). Hingga saat ini pengembangan ET dianggap relatif tidak bergerak atau sangat lamban karena banyak kebijakan yang tidak memberikan dukungan penuh pada pemanfaatannya.
“Ada beberapa hal dalam RUU EBT yang menjadi konsen,” ungkap Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), kepada Dunia Energi, Rabu (16/9).
Hal ini diungkapkan Surya menyusul rencana Komisi VII DPR menggelar RDPU dengan METI, MKI dan Koalisi Perempuan terkait RUU EBT pada 17 September 2020.
Surya mengakui bahwa pengembangan ET cenderung lamban. Hal ini terlihat dari sering berubahnya berbagai peraturan terkait energi terbarukan. Karena itu dengan adanya UU, diharapkan akan ada kepastian hukum dan kepastian usaha bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan energi terbarukan.
Oleh karenanya, substansi yang akan diatur juga harus pro pada energi terbarukan.
“Banyak pihak yang menyangsikan, karena yang dibahas adalah RUU EBT, sehingga ada pihak-pihak yang mempertanyakan, kenapa tidak fokus saja pada energi terbarukan tanpa energi baru yang juga hanya fokus pada energi nuklir. Padahal, masalah energi nuklir kan bisa dibahas dan diamandemen dalam UU Ketenaganukliran,” ungkap Surya.
Dia mengatakan, beberapa hal untuk energi terbarukan yang menjadi konsen pelaku usaha dimungkinkan sudah ditampung dalam draft RUU EBT, kecuali perihal perlu adanya Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET) yang selalu digaungkan dalam setiap pertemuan dan aspirasi yang disampaikan kepada pemerintah.
“Masih ada waktu untuk memasukkan isu ini, karena pembahasan antara DPR dan pemerintah belum dilaksanakan,” kata Surya.
Menurut Surya, BPET menjadi sangat penting, karena beberapa aspek lain yang bisa mempercepat pemanfaatan ET sudah ada dalam draft RUU EBT. Sebut saja misalnya, soal prioritas pemanfaatan energi terbarukan, penyedian dan pengusahaan energi terbarukan, standar portofolio energi terbarukan (SPET), sertifikat energi terbarukan (SET), harga energi terbarukan, insentif, dan dana energi terbarukan.
BPET tentu akan diperlukan untuk bisa melaksanakan berbagai hal yang terkait dengan peran-peran tersebut dalam menetapkan SPET, mengelola dana ET, menetapkan mekanisme dan besaran harga termasuk FIT dan lainnya.
“Agak aneh jika aspek-aspek tersebut ada, tapi badan pengelola tidak ada sehingga tidak jelas menjadi kewenangan siapa dan sebagainya,” kata Surya.
Dia menekankan, bahwa METI juga sudah menyampaikan naskah akademik kajian perlunya BPET tersebut. METI mengusulkan nantinya tidak perlu membentuk badan baru, namun cukup menggabung lembaga yang sudah ada seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) kemudian diberikan penguatan tugas sesuai dengan yang diatur dalam UU ini.
“Ada juga aspek lain jika mau di cover, adalah soal smart grid dan e-mobility yang akan menjadi andalan dalam penggunaan alat transportasi masa depan. Untuk Ini perlu dipikirkan bagaimana mengatur soal energi storage agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan energi terbarukan di masa depan,” tandas Surya.(RA)
Mengapa amandemen pasal 13 ayat 3 dan ayat 4 UU Ketenaganukliran dilakukan melalui draft RUU EBT dengan pasal 7 ayat 3 dan 5? Bagaimana informasi dan penjelasan BAPETEN?