JAKARTA – Tidak berlanjutnya kontrak jual beli gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dengan perusahaan yang tergabung dalam konsorsium yang dikenal dengan Western Buyer Extension (WBX) cukup mengejutkan. Mengingat kontrak jual beli tersebut sempat menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor gas No 1 di dunia selama dua dekade. Bahkan hingga sekarang juga masih jadi andalan ekspor gas Indonesia.

Tumbur Parlindungan, praktisi migas dam mantan Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), menilai masa-masa indah bisnis LNG Indonesia sudah berakhir. Ke depan tantangan bisnis LNG akan semakin berat.

The good old days of Indonesia LNG was gone, highly competitive market yang ada di depan kita,” kata Tumbur kepada Dunia Energi, Senin (14/9).

Baca juga  WBX Tidak Perpanjang Kontrak Pembelian LNG Indonesia

Kontrak LNG dengan WBX yang dipasok dari kilang LNG Bontang berakhir pada tahun ini. Para anggota konsorsium terdiri dari Chubu Electric Co., Kansai Electric Power Co., Kyushu Electric Power Co., Nippon Steel Corp dan Osaka Gas Co. Ltd. dan Toho Gas Co memutuskan tidak memperpanjang kontrak tersebut. Baru Kyushu yang memutuskan akan membeli LNG dari Bontang dalam dua tahun 2021-2022 dengan kontrak terpisah.

Menurut Tumbur, baik pemerintah maupun PT Pertamina (Persero) harus mulai memikirkan rencana alternatif pemanfaatan fasilitas LNG di Bontang. Karena tidak bisa terus mengandalkan pembeli luar negeri. Inovasi skema kontrak LNG juga sulit dicari karena menurutnya skema kontrak jual beli LNG dengan WBX adalah salah satu yang terbaik yang pernah disepakati di dunia.

Tapi skema tersebut kini sudah sulit kembali diberlakukan mengingat LNG sekarang mendapatkan saingan berat dari Shale Gas. Belum lagi dengan saingan dari berbagai pemasok LNG lainnya.

“Waktu kontraknya di tanda tangani Antara seller and WBX, it was the best price for buyer and seller, it is a long term contract around 20 years. Sudah nggak relevant lagi contract seperti itu karena Pasokan LNG melimpah karena ada shale gas di US and beberapa new LNG plant seperti di Qatar, Mozambique, Australia and Russia,” ungkap Tumbur.

Baca juga  Kontrak LNG Tertua Indonesia Tidak Lanjut, Siapa yang Salah?

Dia menuturkan sebenarnya ada salah satu jalan agar fasilitas LNG di Bontang tetap beroperasi ditengah beratnya tantangan mencari pembeli LNG yakni memanfaatkannya menjadi terminal LNG.

Dengan kondisi produksi gas di sekitar Kalimantan Timur sekarang maka kilang Bontang bisa dimodifikasi menjadi terminal LNG.

“Kalau tidak ada penemuan cadangan gas yang baru di East Kalimantan, LNG Bontang bisa dirubah jadi receiving terminal seperti di Arun, Banda Aceh,” kata dia.

Namun demikian salah satu syarat yang tidak boleh dilupakan agar modifikasi tersebut bisa berjakan dalam waktu tidak sebentar maka ketersediaan pasokan gas yang akan diolah harus diperhatikan.

Menurut Tumbur,  harus ada peningkatan kegiatan eksplorasi di wilayah Kalimantan Timur untuk menemukan cadangan gas yang baru. “Agar Bontang bisa tetap bertahan sebagai LNG terminal,” kata Tumbur.

Selama ini WBX mendapatkan pasokan LNG dari kilang LNG Bontang yang dikelola PT Badak NGL. Kilang LNG Bontang merupakan kilang LNG pertama di Indonesia. Semula Badak NGL dikuasai PT Pertamina (Persero) sebesar 55%. Sisanya, dikuasai Vico Indonesia 20%, Japan Indonesia LNG Co (JILCO) 15% dan Total E&P Indonesie (TEPI) 10%. Namun pada tahun 2019 Pertamina melalui anak usahanya, PT Pedeve Indonesia telah menandatangani Conditional Share Sale and purchase agreement (CSPA) dengan PT Japan Indonesia LNG Co Ltd (JILCO) untuk mengakuisisi 15% saham JILCO di PT Badak NGL.(RI)