JAKARTA – Koalisi Publish What You Paid (PWYP) Indonesia mendukung langkah pemerintah untuk tidak memenuhi permintaan pelaku usaha melalui Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) mengenai permintaan insentif terkait relaksasi pembayaran royalti (iuran produksi), keringanan mekanisme pembayaran royalti dan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Usulan tersebut dinilai melukai rasa keadilan dan kemanusiaan, terutama saat kondisi negara dan daerah yang membutuhkan penerimaan untuk penanganan Covid-19.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyampaikan sejumlah soal usulan APBI yang tidak relevan untuk dipenuhi.

Pertama, soal usulan relaksasi pembayaran royalti (hingga enam bulan ke depan) dengan menggunakan basis penentuan harga pasar bukan harga patokan batu bara (HPB/HBA) sebagaimana ketentuan yang berlaku sekarang.

“Permohonan itu tentu akan berdampak langsung pada penerimaan negara, khususnya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) non-migas yang akan semakin terpuruk, sementara negara
sedang butuh menaikkan kapasitas fiskal untuk penanganan pandemi Covid-19 dan recoverynya,” ujar Maryati dalam diskusi virtual, akhir pekan lalu.

Dia menambahkan, penurunan royalti akan sangat berdampak pada Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Minerba yang ditransfer ke daerah, mengingat 80% dari PNBP royalti ditransfer ke daerah penghasil, baik level provinsi hingga kabupaten. Tercatat lebih dari 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih menggantungkan pendapatan daerahnya dari DBH batu bara. Di sisi lain, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan relaksasi DBH untuk refocusing penanganan Covid-19.

“Dalam kondisi saat ini, dengan harga yang turun dan permintaan yang juga turun, semestinya penurunan harga (menggunakan harga pasar) tidak dilakukan. Hal ini dalam konteks kontribusi pada kepentingan negara dan masyarakat luas, bukan sekedar
kepentingan pebisnis,” kata Maryati.

Alasan kedua, kata Maryati, soal usulan agar pembayaran royalti dilakukan setelah pengapalan/transaksi penjualan, bukan dengan melakukan semacam deposit di awal. Hal ini bertentangan dengan prinsip filosofis dan hukum royalti yang dikenakan atas berpindahnya kepemilikan/penguasaan sebuah sumberdaya (komoditas tambang) dari tangan negara ke pihak
swasta (dalam hal ini pelaku usaha yang mendapat izin/kontrak).

“Jika komoditas sumber daya alam dijual terlebih dahulu baru kemudian dilaporkan, itu bertentangan dengan hak konstitusional penguasaan negara dimana sebuah komoditas baru dapat berpindah tangan, jika pembayaran royalti telah dilakukan,” ungkap Maryati.

Pembayaran royalti di depan lebih memberikan kepastian hukum, kepastian cash flow, dan konstitusional. Pembayaran yang dilakukan setelah pengapalan akan rawan terhadap praktik transfer pricing, terlebih jika harga dilepas kepada corporate atau harga pasar. Transfer pricing bukan hanya berdampak pada PNBP melainkan juga berdampak pada penerimaan pajak dari industri batu bara.

Maryati menekankan bahwa illicit financial flows (IFF) akibat miss-invoicing trade (salah satunya melalui transfer pricing) masih besar di Indonesia, bahkan masuk dalam 10 besar dengan IFF tertinggi di dunia menurut Global Financial Integrity (GFI, 2015).

Ketiga, mengenai usulan yang meminta DMO diturunkan dari yang semula 25% diusulkan turun hingga 18%, termasuk sanksi bagi yang tidak menjalankan DMO diminta untuk ditangguhkan. Hal ini menunjukkan pebisnis batu bara tidak peka dengan kebutuhan nasional,
terutama kebutuhan pasar dalam negeri yang berkaitan juga dengan pemulihan ekonomi.

Menurut Maryati, usulan tersebut tidak sejalan dengan prioritas presiden Jokowi dalam mendorong transformasi ekonomi dengan melakukan hilirisasi bahan mentah di dalam negeri.

“Sanksi berupa pemotongan kuota produksi sudah tepat, karena ini menyangkut juga tanggung awab perusahaan yang harus diperankan terhadap perekonomian nasional, sekaligus merupakan bentuk pengendalian produksi batu bara,” tandas Maryati.(RA)