JAKARTA – Pengesahan perubahan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dianggap menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam. Salah satunya adalah dengan ditambahkannya pasal 169 A yang menyebutkan kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun.

“Untuk diketahui bahwa terdapat 7 PKP2B yang akan berakhir kontraknya kurang dari lima tahun lagi,” kata Iqbal Damanik dari  Auriga Nusantara, Rabu (13/5).

Iqbal mengatakan fokus pemerintah pada penyelamatan pebisnis batu bara sangat disayangkan melalui perubahan UU. Pemerintah seharusnya memaksa para pemegang kontrak atau perjanjian ini untuk menyelesaikan terlebih dahulu kewajibannya tanpa serta merta menjamin perpanjangan. Kewajiban tersebut salah satunya adalah menutup lubang-lubang tambang yang disebabkan aktivitas pertambangan. Total luas lubang tambang itu lebih dari 87 ribu hektare, atau setara dengan luas Jakarta digabungkan dengan Kota Bandung.

Aryanto Nugroho dari PWYP Indonesia, menambahkan bahwa UU Minerba mereduksi kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) yang merupakan mandat reformasi. Dengan kata lain, UU Minerba bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk melakukan penguatan dan kemandirian daerah.

“Alasan penarikan kewenangan perizinan ke pusat karena penerbitan izin di daerah diduga banyak korupsi, sangat tidak relevan,” ujar Aryanto.

Menurut Aryanto, permasalahan di daerah adalah korupsi politik dan penegakan hukum. Bukan terkait visi dan filosofi pembagian kewenangan pusat dan daerah. Penarikan kewenangan perizinan ke pusat justru kontradiksi dengan upaya pembinaan dan pengawasan yang telah dibangun oleh Pemerintah Daerah.

“Selain itu, apakah pemerintah pusat sanggup melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap ribuan izin tambang yang tersebar di seluruh Indonesia? Bagaimana proses transisinya? Baik transisi SDM maupun kelembagaan,” kata Aryanto.

Catatan masyarakat sipil menunjukkan, proses peralihan perizinan dari kabupaten ke provinsi pun sampai hari ini masih memiliki kendala. UU MInerba juga berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran tanpa kontrol dengan dihapuskannya ketentuan klausul pengendalian produksi dan ekspor.

Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menyampaikan bahwa UU ini tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh dan lingkungan hidup di lapangan dan tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang dihadapi.

“UU ini justru memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batu bara, sementara partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan ditinggalkan, tidak dilibatkan dan tidak diakomodasi suaranya,” tandas Merah.(RA)