JAKARTA- PT Adaro Energy (ADRO), perusahaan energi terintegrasi sekaligus produsen batu bara nomor dua terbesar di Indonesia, memproyeksikan kinerja kuartal I 2020 relatif positif di tengah tren penurunan harga batu bara dan pandemic virus corona tipe baru (Covid 19). Selain menerapkan efisiensi di seluruh lini, model bisnis terintegrasi hulu-hilir menolong kinerja perusahaan sepanjang Januari-Maret tahun ini bisa terjaga.

“Alhamdulillah, di tengah krisis yang sangat berat ini, lebih berat ketimbang krisis 1998, Adaro masih bisa beroperasi. Tidak ada PHK, karyawan masih gajian dan masih mendapatkan THR (tunjangan hari raya),” ujar Garibaldi “Boy” Thohir, CEO Adaro Energy, dalam diskusi virtual dengan sejumlah media di Jakarta, Selasa (12/5).

‎Menurut dia, penjualan batu bara Adaro masih normal di tengah pandemi Covid-19 karena konsumen batubara Adaro merupakan perusahaan blue chip dan tersebar di seluruh dunia. “Karena kami juga marketnya tersebar, terbesar memang ke India dan China. Jadi kita bisa mengalihkan ke negara lain up to first quarter masih ok. Selain konsumsi untuk pembangkit listrik di dalam negeri, baik PLN maupun IPP,” kata Boy.

Menurut Boy, penyebaran virus corona yang tidak merata‎ pada setiap negara membuat penjualan batu bara tetap stabil, sebab masih ada konsumen yang menyerap batubara Adaro. “Kegiatan operasi pertambangan batu bara Adaro masih berjalan normal sehingga pasokan batubara dapat memenuhi kebutuhan,” katanya.

Luckman Lie, Chief Financial Officer Adaro Energy, menambahkan, 90% konsumen batubara Adaro merupakan pembangkit listrik‎. Hal ini membuat bisnis batu bara tetap stabil. Meski beberapa negara memberlakukan karantina wilayah (lockdown), pembangkit harus tetap beroperasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi listrik.

Boy mengakui, pandemi Covid-19 membuat perekonomian global melesu. Hal ini juga berdampak pada perusahaan meski diakui tak besar. Untuk mitigasi, perusahaan melakukan efisiensi. Dibandingkan krisis-krisis sebelumnya, pandemi ini berdampak lebih besar pada perekonomian. Untuk bisa bertahan, ia mengaku perlu melakukan efisiensi di perusahaan.

“Tahun 2020 ini memang menurut saya terus terang yang sedih. Meski memang dalam hal ini, Adaro masih berjalan dengan baik. Meski juga kami harus mengencangkan efisiensi,” ujarnya.

Kendati melakukan efisiensi tetapi sampai saat ini perusahaan belum melakukan perubahan target. Hingga saat ini dari sisi penjualan tak begitu terdampak.

“Tapi kami sekarang fokus ke kebutuhan dasar. Bagaimana kami lakukan efisiensi di sana sini. Ada 30% biaya untuk bahan bakar. Kalau bahan bakar turun, kami bisa efisiensi lagi. Meski harga jual ke depan bergejolak,” ujar Garibaldi.

Terkait kinerja kuartal I 2020, Boy mengatakan akan dirilis dalam waktu satu-dua pekan ke depan. “Sabar saja, ditunggu,” ujarnya.

Sekadar perbandingan, pada kuartal I 2019, Adaro berhasil membukukan laba inti sebesar US$166 juta. Angka itu tumbuh 52% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dalam periode yang sama, perusahaan juga mencatatkan EBITDA operasional sebesar US$323 juta atau naik 19% dari tahun lalu. Pencapaian operasional dan keuangan yang solid pada kuartal I 2019 mencerminkan model bisnis terintegrasi yang kokoh serta keunggulan operasional perseroan. (DR)