JAKARTA – Alasan pemerintah maupun PT Pertamina (Persero) untuk tidak menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai bertentangan dengan aturan main harga jual BBM. Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, mengatakan hal-hal prinsip dari berbagai peraturan terkait perubahan harga BBM terutama didasari perubahan harga minyak dunia dan kurs rupiah terhadap dolar AS.
“Terlepas apapun alasan Arifin dan Nicke, faktanya pemerintah mempunyai aturan main tentang harga jual BBM, yaitu puluhan Perpres, Permen ESDM dan Kepmen ESDM, yang terbit 2104 –2020,” kata Marwan, Jumat (8/5).
Perpres dimaksud adalah No.191/2014 dan No.43/2018. Sedang Permen turunan Perpres adalah No.39/2014, No.4/2015, No.39/2015, No.27/2016, No.21/2018, No.34/2018 dan No.40/2018. Sedangkan Kepmen turunan Perpres: No.19K/2019, No.62K/2019, No.187/2019, No.62K/2020 dan No.83K/2020.
Formula BBM merujuk harga BBM di Singapore (Mean of Platts Singapore, MOPS) atau Argus periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya hingga tanggal 24 satu bulan sebelumnya, untuk penetapan bulan berjalan. Misalnya sesuai Kepmen ESDM No.62K/2020, formula harga jenis Bensin di bawah RON 95, Bensin RON 98, dan Minyak Solar CN 51, adalah: MOPS atau Argus + Rp 1.800/liter + Margin (10% dari harga dasar).
Sebagai contoh, dengan formula di atas, sesuai MOPS rata-rata 25 Februari s.d 24 Maret 2020 dan kurs US$ 15.300, maka diperoleh harga BBM yang berlaku 1 April 2020 untuk jenis Pertamax RON 92 sekitar Rp 5.500 dan Pertalite RON 90 sekitar Rp 5.250 per liter.
Marwan menambahkan, faktanya harga resmi BBM di SPBU masing-masing adalah Rp 9.000 dan Rp7.650 per liter. Dengan demikian, jika dibanding harga sesuai formula, maka konsumen BBM Pertamax membayar lebih mahal Rp 2.000 – Rp3.500 per liter. Hal sama juga terjadi untuk BBM Tertentu (solar) dan Khusus Penugasan (Premium), namun dengan nilai kemahalan sekitar Rp 1.250-1.500 per liter. Untuk semua jenis BBM rerata nilai kemahalan diasumsikan Rp 2.000 per liter.
Untuk harga BBM yang mulai berlaku 1 Mei 2020, nilai MOPS rata-rata 25 Maret sampai dengan 24 April 2020 dan kurs USD lebih rendah dibanding April. Karena itu diasumsikan konsumen semua jenis BBM secara rerata membayar lebih mahal sekitar Rp 2.500 per liter.
Marwan menjelaskan, jika selama pandemi korona konsumsi BBM untuk semua jenis BBM diasumsikan sekitar 100.000 kilo liter per hari, maka nilai kelebihan bayar untuk April 2020 adalah 100.000 kl x 30 hari x Rp 2.000 = Rp 6 triliun. Untuk periode Mei 2020, nilai kelebihan bayar adalah 100.000 kl x 31 x Rp 2.500 = Rp 7,75 triliun. Sehingga selama April dan Mei 2020, konsumen BBM Indonesia diperkirakan membayar lebih mahal sekitar Rp 13,75 triliun.
Marwan mengatakan, sebagian rakyat mungkin mampu membayar harga BBM sesuai ketetapan pemerintah. Harga BBM di Indonesia mungkin juga relatif lebih murah di banding harga BBM di negara lain dan juga sudah cukup rendah di banding harga produk-barang lain, sehingga tidak turunnya harga BBM April dan Mei 2020 dapat dimaklumi. “Namun karena berbagai alasan, rakyat harus menggugat pemerintah dan menuntut ganti sebesar Rp13,75 triliun,” kata Marwan.
Apapun alasannya harga BBM bulan Mei 2020 harus turun karena peraturan formula harga BBM masih berlaku. Pelanggaran peraturan oleh pemerintah tampaknya sudah merupakan hal yang biasa terjadi dalam 4-5 tahun terakhir. Pelanggaran semakin marak karena pengawasan dan penegakan hukum oleh lembaga terkait juga tidak berfungsi optimal, terutama oleh DPR sebagai wakil rakyat, yang berubah menjadi bagian dari pemerintah.
“Demi kepentingan bersama, harga BBM tidak harus rendah, tetapi perlu diatur pada pita/ band harga tertentu (misalnya Rp 8.000 – Rp 14.000), sehingga energi tersedia berkelanjutan, ketahanan energi meningkat dan defisit neraca perdagangan/neraca transaksi berjalan tetap rendah,” ujar Marwan.
Untuk itu antara lain perlu diterapkan sistem subsidi tepat sasaran, pengembangan EBT terintegrasi energi fosil, pajak lingkungan untuk EBT, skema dana stabilisasi harga BBM, skema dana migas, dan lainnya. Hal ini harus menjadi konsensus nasional dan dituangkan dalam suatu peraturan. “Sebelum peraturan terbentuk, jalankanlah peraturan yang berlaku, dan proses hukumlah para penyeleweng. Berhentilah bersikap sontoloyo semau gue. Rakyat berhak menuntut ganti rugi sekitar Rp 13,75 triliun, dan hal itu dapat dilakukan melalui proses citizen law suit,” tandas Marwan.(RA)
Berikut Gugatan kepada Pemerintah:
1. Pemerintah telah menetapkan formula harga BBM, dan untuk BBM umum telah diterapkan secara rutin setiap bulan sejak 2014. Jika formula tidak diterapkan pada April dan Mei 2020, walau Menteri ESDM dan Dirut Pertamina memiliki 1000 alasan sekalipun, maka hal tersebut tetap saja pelanggaran sangat nyata terhadap peraturan yang harus dipertanggungjawabkan.
2. Penyebab utama keuangan Pertamina bermasalah berpotensi gagal bayar adalah pemerintah yang bertindak melanggar berbagai aturan demi pencitraan politik sempit. Harga BBM tidak disesuaikan sesuai formula Perpres/Pemen sejak April 2016 hingga Desember 2019. Demi pencitraan politik Jokowi ini Pertamina menanggung beban subsidi sekitar Rp 80 triliun. Meskipun kelak beban tersebut akan dibayar pemerintah, namun jadwalnya tidak jelas.
3. Akibat kebijakan populis pemerintah, Pertamina juga menanggung utang obligasi minimal US$ 12,5 miliar yang harus dibayar bunga/kuponnya sekitar Rp 10 triliun per tahun.
4. Pertamina harus membeli crude produksi dalam negeri dengan harga berdasar formula Indonesia Crude Price (ICP) bernuansa moral hazard, karena lebih mahal sekitar US$ 13-15 per barel (Duri) dan US$ 8-9 per barel. Harga yang lebih mahal ini menjadi beban tambahan bagi Pertamina.
5. Keuangan Pertamina juga dibebani kebijakan yang melanggar aturan dan public service obligation (PSO) yang seharusnya ditanggung pemerintah tapi tidak tersedia di ABPN. Kebijakan tersebut antara lain signature bonus Blok Rokan, BBM satu harga, over quota LPG 3kg, dan lain-lain.
Komentar Terbaru