JAKARTA – Tren penurunan harga minyak dunia terus berlanjut, bahkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat berada di bawah US$20 per barel. Namun harga minyak yang makin rendah tidak kunjung berdampak pada penurunan harga BBM di Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia sudah enam kali menurunkan harga BBM dalam tiga bulan terkahir. Harga BBM sekelas Pertamax Plus (RON 95) di Malaysia saat ini di tetapkan hanya Rp4.420 per liter, jauh lebih murah ketimbang harga Premium (RON 88) di Indonesia yang masih Rp6.450 per liter.
“Salah satu penyebab harga BBM enggan turun adalah adanya perubahan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 187K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga BBM, yang diteken pada 7 Oktober 2019 oleh Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan. Menteri ESDM yang baru Arifin Tasrif telah mengubahnya menjadi Kepmen ESDM Nomor 62K/MEM/2020 yang diteken 28 Februari 2020,” ungkap Fahmi Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada dan Mantan Anggota Anti Mafia Migas, Rabu (22/4).
Perubahan Kepmen baru tersebut terkait dengan penaikan konstanta dalam formula penetapan harga BBM. Sampai harga RON 92 = harga MOPS + Rp 1.800 (naik dari sebelumnya Rp 1.000) + marjin 10 persen. Harga di atas RON 92= harga MOPS + Rp 2.000 (naik dari sebelumnya Rp 1.000 dan Rp 1.200) + marjin 10 persen. MOPS adalah Mean Of Plats Singapore yang merupakan harga rata-rata minyak di Singapore dalam 2 bulan terkakhir.
Fahmi mengatakan, melalui Kepmen 187K/10/MEM/2019 harga BBM di Indonesia bisa diturunkan hingga 2 kali, pada Januari 2020 padahal harga minyak dunia saat itu masih bertengger di atas US$ 60 per barrel.
“Sekarang harga minyak cenderung turun drastis hingga rata-rata di bawah US$ 20 per barrel, mengapa harga BBM tidak kunjung turun?” ungkap Fahmi.
Berdasarkan formula Kepmen Nomor 62K/MEM/2020, paling tidak ada dua kemugkinan penyebabnya, yakni penaikkan konstanta dan penetapan harga MOPS yang tidak sesuai dengan harga minyak dunia.
Fahmi menduga adanya indikasi bahwa mafia migas selain bermain dalam peningkatan volume impor BBM, juga bermain dalam penetapan MOPS. Bahkan, tidak mustahil ikut pula bermain dalam keputusan kenaikan konstanta dalam formula penetapan harga BBM. Kendati Petral, yang selama ini dikenal sebagai markas mafia migas, sudah dibubarkan namun mafia migas sesungguhnya masih saja berkeliaran. Pasalnya, mafia migas sudah menjadi inherent system yang mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah.
“Kalau indikasi keterlibatan mafia migas itu benar, tidak berlebihan dikatakan bahwa mereka di balik keputusan tidak menurunkan harga BBM di tengah anjloknya harga minyak dunia,” kata Fahmi.
Dia mendesak agar Menteri ESDM Arifin Trasrif segera mengambil langkah-langkah konstruktif untuk menurunkan harga BBM dalam waktu dekat ini. Salah satunya mengembalikan besaran konstanta dalam penetapan formula harga BBM, dengan menetapkan besaran konstanta. Disamping itu, Menteri ESDM harus mengevaluasi besaran MOPS yang disesuaikan dengan harga minyak dunia yang berlaku.
Penurunan harga BBM sebenarnya akan dapat menaikkan daya beli masyarakat, yang lagi terpuruk akibat pandemi Covid-19. Kenaikan daya beli itu akan meningkatkan konsumsi, yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, yang tahun ini diprediksikan hanya mencapai 2,2 persen. Selain itu, keputusan untuk tidak menurunkan harga BBM sesungguhnya menunjukkan ketidakadilan terhadap konsumen. Pada saat harga minyak dunia naik, PT Pertamina (Persero) dengan sigap menaikkan harga BBM. Namun, saat harga minyak dunia turun drastis, Pertamina tidak menurunkan harga BBM.
“Saat inilah momentum yang paling tepat untuk menurunkan secara serentak harga BBM non-subsidi dan subsidi. Selain untuk menaikkan daya beli, juga untuk meringankan beban rakyat yang menderita akibat pandemi Covid-19. PLN saja sudah menggratiskan dan mendiskon tarif listrik untuk meringankan beban rakyat, Pertamina mestinya juga mengikuti langkah PLN,” tandas Fahmi.(RA)
Yg namanya peraturan hanya buatan manusia, semua bisa direvisi, kecuali Al Qur’an.