JAKARTA – Harga BBM belum akan berubah dalam waktu dekat, meskipun harga minyak dunia turun signifikan. Pasalnya, penurunan harga minyak dunia masih berlangsung dalam beberapa hari, sehingga masih ada potensi terjadi rebound
Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah akan mengamati terlebih dahulu tren harga minyak ke depan.
“Kami punya keputusan menteri (Kepmen) tentang formula BBM, ada batasan profit dan lainnya. Ini (penurunan harga minyak mentah) masih dalam range kepmen itu,” kata Agung saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (9/3).
Aturan main yang mengatur penetapan harga BBM nonsubsidi adalah Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM 187K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan dimana penyesuaian harga BBM dapat dilakukan secara berkala dan tergantung faktor-faktor penentu harga, salah satu faktornya adalah harga minyak dunia.
Dalam aturan tersebut ada ketetapan batasan margin bagi badan usaha yakni paling 5% dari harga dasar serta paling tinggi 10% dari harga dasar.
Menurut Agung, pemerintah terus mengawasi penetapan harganya oleh badan usaha. “Ini kan baru sehari dua hari, kita lihat nanti dalam waktu sebulan bagaimana dampaknya,” katanya.
Indonesia bukan kali ini saja menghadapi kondisi harga minyak mentah yang cukup rendah. Pada Januari 2016, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) pernah mencapai level yang cukup rendah, yakni US$ 27,49 per barel. Kondisi ICP ini masih bertahan hingga bulan-bulan berikutnya, yaitu US$ 28,92 per barel di Februari dan US$ 34,29 per barel di Maret. Rata-rata ICP di 2016 juga tercatat paling rendah dalam periode 2010-2019, yakni US$ 40,13 per barel.
Selengkapnya, mengacu data Kementerian ESDM, ICP pernah mencapai level tertinggi US$ 112,73 per barel di 2012, kemudian turun menjadi US$ 105,85 per barel di 2013, US$ 96,51 per barel di 2014, US$ 49,21 per barel di 2015, dan mencapai titik terendah US$ 40,13 per barel di 2016. Setelah itu, ICP beranjak naik menjadi US$ 51,19 per barel di 2017, US$ 67,47 per barel di 2018, dan turun ke US$ 62,37 per barel di tahun lalu.
Jika berlangsung lama pemerintah sendiri akan langsung terdampak dengan penurunan harga minyak yakni realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas. “PNBP juga akan turun karena harga crude turun,” kata Agung.
Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan kondisi harga minyak yang berkisar antara US$32- US$35 per barel akan memberatkan sektor hulu migas.
Dengan kondisi ini, ia menilai akan sulit bagi pemerintah dan KKKS untuk bisa mencapai target PNBP. Turunnya harga minyak akan memaksa para KKKS untuk menahan produksi karena kondisi yang tidak ekonomis.
“Untuk sektor hulu,sektor ini lah yang paling terpukul karena jatuhnya harga minyak dunia. Padahal, sektor Hulu salah satu penyumbang terbesar untuk PNBP dalam APBN kita dimana 2019 mencapai Rp 115.1 triliun. Target 2020 sebesar Rp 127.3 triliun,” ujar Mamit
Harga minyak yang terlalu rendah akan membuat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menahan produksi mereka karena secara keekonomian bisa dikatakan kurang ekonomis. “Apalagi banyak lapangan migas kita yang mature sehingga dibutuhkan biaya maintenace menjaga produksi butuh biaya yang tidak sedikit,” kata Mamit.(RI)
Komentar Terbaru