JAKARTA – Pemerintah dan lembaga penegak hukum didesak menuntaskan kasus utang PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), anak usaha Borneo Lumbung Energi & Metal (BLEM) sebesar Rp451,66 miliar. Kasus ini bermula dari perjanjian jual beli BBM jenis solar atau high speed diesel (HSD) antara AKT dengan PT Pertamina Patra Niaga anak usaha PT Pertamina (Persero) pada 10 Februari 2009.

“Setelah 10 tahun berlalu, tidak ada tanda-tanda AKT yang merupakan milik pengusaha Samin Tan ini akan segera melunasi utang tersebut,” kata Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS, Kamis (2/1).

Berdasarkan Perjanjian Jual Beli antara Patra Niaga dan AKT, sesuai purchase order, disepakati harga jual HSD dari Patra Niaga kepada AKT adalah sama dengan harga publikasi Pertamina dikurangi potongan harga empat persen dari MOPS (Mean Oil Platts Singapore). Adapun besaran volume diperkirakan sebesar 1.500 kiloliter (KL) per bulan yang berlaku efektif satu tahun.

Sesuai Pasal 7 Perjanjian Jual Beli, diatur pola pembayaran kredit 30 hari kalender setelah tanggal berita acara penerimaan BBM, atau dengan menggunakan L/C (letter of credit) atau SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri). Kemudian pada 9 Februari 2010, terjadi perubahan (addendum) perjanjian I, berupa perubahan terhadap jangka waktu yang diperpanjang satu tahun dan volume pengiriman naik menjadi 6.000 kl per bulan.

Lebih lanjut, pada 1 Juni 2011 dilakukan pula perubahan II Perjanjian Jual Beli. Pada perbuahan II ini, disepakati perubahan waktu perjanjian berlaku efektif dari 10 Februari 2009 hingga 9 Februari 2013. Juga disepakati pula perubahan harga potongan menjadi 5,5 persen MOPS dan penambahan volume pengiriman menjadi 7.500 kl per bulan. Hal-hal penting dalam amandemen perjanjian adalah: penambahan waktu supply HSD, peningkatan volume pengiriman HSD dan peningkatan nilai discount.

Dalam pelaksanaan Perjanjian Jual Beli HSD tersebut, ternyata AKT tidak membayar tagihan sesuai jadwal. Sehingga dalam kurun waktu 2009-2016, suplai HSD oleh Patra Niaga yang belum dibayar AKT mencapai lebih dari US$ 39,56 juta ditambah Rp 21,34 miliar. Faktanya, karena kemacetan pembayaran oleh AKT, pada Juli 2012 Patra Niaga menghentikan suplai HSD ke AKT. Sementara total tagihan yang dihitung hingga 2012 adalah US$ 36,39 juta plus Rp 18,33 miliar.

“Patra Niaga terus berupaya menagih piutang tersebut tetapi tidak berhasil. Karena Patra Niaga gagal menagih piutang, akhirnya dicapai Kesepakatan I mekanisme penyelesaian utang,” ujar Marwan.

Pada 2013, Patra Niaga berhasil melakukan penagihan sebesar US$ 2,29 juta. Selanjutnya dilakukan rekonsiliasi utang piutang yang belum berhasil direkonsiliasi dan penerbitan credit note.

Selanjutnya pada 2014, berdasarkan temuan Satuan Pengawas Intern (SPI) Pertamina atas tagihan di luar kesepakatan yang kemudian telah di-billing adalah sebesar US$ 7,87 juta plus Rp 3,32 miliar. Kemudian dilakukan rekonsiliasi ulang, termasuk tagihan lain yang belum berhasil direkonsiliasi dan dugaan tindak pidana korupsi. Pada 2014 juga upaya penagihan piutang oleh Patra Niaga menghasilkan Kesepakatan II untuk menghitung beberapa sisa utang yang belum berhasil direkonsiliasi.

Pada 2014 Patra Niaga juga berhasil melakukan penagihan sebesar US$ 1,65 juta. Sehingga total pembayaran hingga akhir 2014 (pada 2012 berhasil ditagih US$ 2,29 juta) menjadi US$ 3,94 juta. Dengan demikian, nilai sisa piutang yang dimiliki Patra Niaga kepada AKT menjadi US$ 39,57 juta plus Rp 21,34 miliar.

Pada 2016, AKT mengajukan voluntary PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) ke Pengadilan Niaga. Hasilnya adalah disahkannya Putusan Homoligasi pada 4 April 2016. Jumlah tagihan Patra Niaga yang diakui oleh pengurus sebagai utang usaha pihak ketiga dan berhak untuk mengikuti voting atas rencana perdamaian adalah sebesar Rp 451,66 miliar atas konversi US$ 33,59 juta sesuai kurs Rp 13.890 per US$ (minus Rp 15,16 miliar).

“Sejak 2016 hingga sekarang, pelaksanaan pembayaran oleh AKT masih tidak jelas. Di sisi lain, tidak tampak upaya yang serius dari manajemen Patra Niaga yang 100% sahamnya dikuasai Pertamina, maupun manajemen Pertamina untuk menyelesaikan kasus perampokan uang milik negara oleh perusahaan Samin Tan. Padahal dalam membeli minyak mentah Pertamina selalu berbentuk cash, atau pembayaran di muka sebelum barang dikirim,” ujar Marwan.

Menurut Marwan, manajemen Pertamina dan Patra Jasa terkesan tidak serius menindaklanjuti kasus ini. Manajemen Patra Niaga dan Pertamina diminta untuk segera memaksa Samin Tan menyelesaikan kewajiban.

“Pemerintah harus panggil Samin Tan guna memperoleh jaminan dan komitmen atas dilaksanakannya pembayaran. KPK harus segera melakukan penyelidikan atas kasus yang sarat pelanggaran hukum, bernuansa KKN dan berpotensi merugikan negara sebesar Rp455 miliar tersebut,” tandas Marwan.(RA)