JAKARTA – Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) PT Freeport Indonesia harus segera terealisasi, apalagi dengan masuknya PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sebagai pemegang saham mayoritas. Target operasi smelter pada 2022 bisa direalisasikan, jika Freeport serius menjalankan ketentuan.
Tino Ardhyanto, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), mengatakan smelter Freeport Indonesia bisa terwujud pada 2022. Proses pembangunan smelter bervariasi tergantung sampai level mana tingkat pemurnian mineral tersebut.
“Target 2022 bukan suatu hal yang mustahil punya smelter baru,” kata Toni di Jakarta, Kamis (4/10).
Smelter PT Smelting di Gresik, Jawa Timur misalnya, dengan level zero waste. Artinya hasil sampingan pemurnian mineral diserap industri semen, maupun gypsum. Untuk smelter yang akan dibangun Freeport saat ini belum diperjelas apakah sama karakternya dengan Smelting. Untuk smelter model Smelting, pembangunan butuh waktu 3-4 tahun.
Saat ini Freeport sudah membangun smelter berkapasitas dua juta ton konsentrat tembaga di Gresik, Jawa Timur. Selain itu, Freeport pun menjajaki kerja sama membangun smelter dengan PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
Disisi lain, masuknya Inalum sebagai perwakilan pemerintah di Freeport harus benar-benar dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai aspek dalam industri pertambangan nasional.
Tino mengungkapkan tenaga kerja pertambangan Indonesia sudah mampu untuk mengelola kegiatan pertambangan di Indonesia, termasuk tambang Grasberg di Papua. Saat ini hampir seluruh lini kegiatan Freeport Indonesia dikerjakan warga negara Indonesia.
“Tidak perlu ada keraguan akan kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk melaksanakan kegiatan operasional pertambangan sekelas Grasberg,” tegas dia.
Setyo Sardjoni, Sekretaris Umum PERHAPI, optimistis melalui penguasaan 51% saham Freeport Indonesia oleh Inalum, proses pembangunan smelter akan bisa diselesaikan sesuai target. Apalagi Inalum sebagai holding BUMN tambang, memiliki subholding yang memiliki kompetensi dalam smelter, seperti PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk.
“Di dalam banyak ahli metalurgi yang punya kompetensi mewujudkan smelter tembaga. Kita enggak kekurangan tenaga ahli,” kata Setyo.
Menurut Setyo, tidak masalah jika smelter dibangun di Papua, karena bisa memberi efek berganda. Apalagi pembangunan infrastruktur di Papua sudah mulai masif dan kebutuhan listrik untuk smelter sudah bisa dipenuhi.
“Ada pertimbangan komersial. Kalau mau dibangun di Papua lebih baik, enggak perlu ongkos transportasi dan Papua bisa berkembang,” tandasnya.(RI)
Komentar Terbaru