JAKARTA – Proyek itu telah melahirkan sejumlah lulusan dari perguruan tinggi ternama, diantaranya Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Namun bahan yang digunakan oleh para sarjana itu dalam menyelesaikan tugas akhir, belakangan dinyatakan fiktif oleh Kejaksaan Agung.
Teknologi bioremediasi memang sudah cukup lama dikenal di dunia. Namun untuk industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, boleh dibilang baru PT Chevron Pacific Indonesia yang menggunakan. Itu pun setelah Chevron melakukan berbagai penelitian dan pengujian sejak 1994, dan baru benar-benar menguasai dan menerapkannya untuk menangani limbah bekas minyak pada 2003.
Kini, dari 300 titik yang ditargetkan untuk dibersihkan dengan teknologi bioremediasi oleh Chevron, sudah 130 titik yang mendapatkan memperoleh surat tanda sudah dibersihkan dari Kementerian Lingkungan Hidup. “Ya memang dengan beberapa inovasi yang dilakukan, kami bisa melakukan proses pembersihan dengan lebih cepat,” tutur Manager Corporate Communication Chevron Indonesia, Dony Indrawan di Jakarta, Sabtu, 22 Desember 2012.
Dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003, sebenarnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan tanah dari limbah dengan teknologi bioremediasi, satu siklus maksimal delapan bulan. Namun saat ini Chevron bisa menyelesaikan satu kali siklus pengolahan, hanya dalam waktu tiga sampai empat bulan.
Chevron kini mempunyai sembilan fasilitas pengolahan tanah tercemar limbah dengan teknologi bioremediasi, yang kapasitas totalnya mencapai 42.000 meter kubik tanah sekali siklus. Perusahaan yang sudah 88 tahun beroperasi di Indonesia ini pun menargetkan, pada 2019 program pembersihan tanah dari limbah minyak dengan teknologi bioremediasi itu selesai. (Lihat: Sejarah Panjang Bioremediasi Chevron. Link: https://www.dunia-energi.com/sejarah-panjang-bioremediasi-chevron/)
“Jadi saat kontrak kita berakhir pada 2021, tanah yang kita tinggalkan sudah bersih,” ujar Dony. Sepanjang rentang waktu pengujian awal pada 1994 hingga saat ini, banyak mahasiswa terutama yang berkhidmat pada ilmu lingkungan, tertarik memperdalam bioremediasi.
Jadilah program bioremediasi Chevron yang sebagian besar berlangsung di Duri, Riau, sasaran penelitian para mahasiswa dalam meneliti dan menulis tugas akhir serta kerja praktek, guna mendapatkan gelar sarjana.
“Rata-rata mahasiswa yang datang ke lokasi kami untuk mencari data dan memperdalam bioremediasi sebagai tugas akhir dan kerja praktek dari ITB, sebagian lagi juga dari UI. Kami selalu terbuka membantu, dan mereka kini sudah menjadi sarjana-sarjana ahli bioremediasi,” tutur Dony lagi.
Namun alangkah masygulnya pria berpenampilan kalem ini, tatkala Kejaksaan Agung menuding proyek yang sudah melahirkan banyak sarjana bioremediasi itu, sebagai proyek fiktif. “Kalau proyek bioremediasi ini dikatakan fiktif, berarti mereka yang kerja praktek dan menulis tugas akhir tentang bioremediasi Chevron, juga pakai data, fakta dan informasi fiktif. Berarti ada sarjana fiktif dong…,” ujar Dony geleng-geleng kepala.
Mestinya, kata Dony, sebelum melanjutkannya sebagai kasus pidana dengan tuduhan proyek fiktif, Kejaksaan Agung lebih dulu meminta konfirmasi ke instansi-instansi pemerintah, yang memberikan persetujuan untuk dilaksanakannya proyek bioremediasi Chevron ini, diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup.
“Kalau setelah mengkonfirmasi ke instansi-instansi yang memberikan persetujuan atas proyek ini, Kejaksaan Agung tetap melihat ada masalah, silahkan minta klarifikasi ke kami. Setahu saya, mestinya begitu memperlakukan kasus dari sebuah operasi migas, yang bernaung dibawah Production Sharing Contract,” tukasnya.
Namun apa boleh buat. Kejaksaan Agung telah membawa kasus ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dengan berbagai dakwaannya. Entah apa jadinya gelar para sarjana bidang bioremediasi itu, jika pengadilan ternyata memenangkan sangkaan Kejaksaan Agung. Faktanya, dalam melakukan penelitian dan aplikasi teknologi bioremediasi, Chevron pun melibatkan para ahli dari sejumlah perguruan tinggi.
Kini, dampak yang paling dirasakan Chevron akibat tudingan Kejaksaan Agung itu, ialah sulitnya melaksanakan program lingkungan. Menurut Dony, pihaknya saat ini menjadi kesulitan mendapatkan partner untuk melakukan pengelolaan lingkungan, gara-gara kriminalisasi terhadap proyek bioremediasi.
“Orang takut bekerja sama dengan kita, karena mereka pikir aman nggak nih kerja sama Chevron, jangan-jangan nanti dikriminalkan juga. Kalau proyek lingkungan tidak berjalan, lalu kita terkena Undang-Undang Lingkungan dan produksi minyak chevron di-stop, yang rugi ya keuangan negara juga,” jelas Dony.
Seperti diketahui, Undang-Undang Lingkungan Hidup akan memberikan sanksi pidana, pada siapa pun pelaku industri yang tidak melakukan pengelolaan lingkungan dengan benar. Selain itu, bagi yang terbukti tidak melakukan pengelolaan lingkungan sesuai Undang-Undang, operasinya juga akan dihentikan oleh pemerintah.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru