JAKARTA – Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 20 Desember 2012, Jaksa Penuntut Umum mendakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Kukuh Kertasafari dan Widodo telah merugikan negara, karena memenangkan PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia dalam tender proyek bioremediasi (pengolahan tanah tercemar limbah minyak, red).
Dalam dakwaan disebutkan, kedua perusahaan yang memenangkan tender itu, tidak memiliki kompetensi dan izin untuk menerapkan teknologi bioremediasi. Dengan begitu, Kukuh dan Widodo diduga telah memperkaya diri sendiri dan orang lain serta korporasi.
Terkait hal ini, Manager Corporate Communication Chevron Indonesia, Dony Indrawan mengakui, Sumigita Jaya dan Green Planet memang tidak memiliki kompentensi dan izin melaksanakan bioremediasi. Keduanya adalah kontraktor sipil, yang dikontrak Chevron untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan teknis dari aplikasi teknologi bioremediasi di lapangan.
“Yang punya teknologi dan izin untuk melakukan bioremediasi itu ya kita, Chevron. Sedangkan Green Planet dan Sumigita memang tidak perlu punya izin atau spesifikasi sebagai ahli bioremediasi, karena pekerjaan yang dikontrakkan ke mereka adalah pekerjaan sipil,” jelas Dony kepada Dunia Energi di Jakarta, Sabtu, 22 Desember 2012.
Lebih jauh Dony pun memaparkan sejarah panjang Chevron, sejak mulai meneliti, menguji, hingga sukses menerapkan teknologi bioremediasi guna menangani limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) di seluruh wilayah operasinya di Riau.
Tahun 1990-an: Chevron mulai mengevaluasi metode dan teknik pengelolaan lingkungan yang telah dilakukannya, seiring dengan langkah pemerintah yang mulai tertib dan disiplin dalam menangani berbagai persoalan lingkungan di sektor-sektor industri termasuk sektor minyak dan gas bumi (migas).
Tahun 1994: Chevron mulai menguji beberapa aplikasi teknologi bioremediasi, termasuk pengujian di laboratorium, guna menentukan teknologi yang paling tepat digunakan untuk mengembalikan kondisi tanah kembali normal, atau paling tidak sesuai dengan standar aman bagi lingkungan yang ditetapkan pemerintah.
Tahun 1997: Chevron mulai melakukan pengujian lapangan terhadap teknologi bioremediasi, dengan melibatkan perguruan tinggi, pemerintah, dan para ahli bioremediasi dari internal Chevron. Dari pengujian demi pengujian yang dilakukan di lapangan, Chevron semakin yakin dan percaya diri menggunakan teknologi bioremediasi. Terlebih teknologi bioremediasi diterapkan Chevron telah diakui secara internasional.
Tahun 2000: Ketika sudah percaya diri dengan teknologi, desain, tata cara, dan sumber daya manusia pelaksana bioremediasi yang dimiliki, Chevron mulai bersiap mengaplikasikan teknologi tersebut. Salah satunya dengan mengajukan izin ke pemerintah, untuk menerapkan teknologi bioremediasi. Karena sesuai peraturan perundang-undangan, Chevron selaku pemilik limbah adalah pihak yang harus mendapatkan izin dan melaksanakan sendiri teknologi bioremediasi itu.
Tahun 2002: Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan izin untuk Chevron menerapkan teknologi bioremediasi di wilayah operasinya.
Tahun 2003: Chevron mulai melakukan “eksekusi” (menerapkan) teknologi bioremediasi untuk seluruh wilayah operasinya di Sumatera.
Tahun 2004: Chevron telah menguasai sepenuhnya teknologi bioremediasi, baik SOP (Standart Operating Procedur)-nya, desain, maupun teknik pelaksanaannya di lapangan.
Tahun 2006: Chevron melihat adanya peluang untuk meningkatkan keunggulan dari teknologi bioremediasi yang dimilikinya, dengan meng-outsourcing-kan (mengkontrakkan) sebagian dari pekerjaan teknis sipil pelaksanaan bioremediasi di lapangan. Dibukalah tender berdasarkan PTK (Pedoman Tata Kerja) 007 Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dengan kualifikasi kontraktor yang dicari adalah kontraktor umum.
Tahun 2011: Dari 300 titik atau lokasi yang ditentukan, sudah sekitar 130 titik yang selesai dibersihkan dengan teknologi bioremediasi. Semua lokasi yang dinyatakan sudah dibersihkan itu pun sudah diverifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan mendapat surat pengakuan bahwa lokasi yang di-treatment bioremediasi sudah bersih dari limbah. Pada tahun yang sama Chevron meraih PROPER Biru.
Tahun 2012: Chevron kembali mendapat PROPER Biru untuk semua lokasi yang di-treatment bioremediasi.
Ditargetkan pada 2019 seluruh lokasi yang tercemar limbah sudah tuntas di-treatment biormediasi, sebagai komitmen berakhirnya kontrak Chevron dan Pemerintah Indonesia pada 2021. Jika kontrak pengusahaan migas itu diperpanjang, maka Chevron akan kembali melaksanakan bioremediasi, sebagai komitmen pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru