JAKARTA – Pemerintah belum juga menetapkan aturan main transfer kuota batu bara yang dinantikan pelaku usaha, sehingga mempengaruhi syarat untuk menyalurkan batu bara bagi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO).
Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), mengungkapkan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyerahkan mekanisme transfer kuota ke pasar, namun fasilitas trading ada masalah harga. Ada perbedaan pandangan dari produsen batu bara, antara yang punya kuota lebih dengan yang membutuhkan kuota.
“Masalah harga menimbulkan perbedaan antar anggota, sementara pemerintah menyerahkan business to business,” kata Hendra, Kamis (19/7).
APBI, kata dia, mempunyai inisiatif untuk menjadi penengah, namun tetap perlu aturan main yang jelas dari pemerintah. Transfer kuota batu bara dimungkinkan dilakukan produsen batu bara dalam rangka mememuhi kewajiban DMO 25% dari total produksi yang disyaratkan pemerintah. Kementerian ESDM dalam surat terbarunya menetapkan 20% DMO harus didistribusikan kepada PT PLN (Persero). Di sisi lain, tidak semua batu bara yang diproduksikan sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan PLN, sehingga jalan keluarnya adalah melakukan transfer kuota untuk penuhi syarat DMO tersebut.
Masalah kemudian timbul karena tidak ada penetapan harga transfer kuota. Produsen yang kelebihan kuota tentu bisa mematok harga batu bara dengan harga berapapun atau harga pasar. Sebaliknya, produsen yang membutuhkan setelah membeli dengan harga pasar harus menjual dengan harga khusus batu bara bagi pembangkit yang tidak lebih dari US$70 per ton. Tentu ini merugikan bagi produsen yang membutuhkan kuota.
“Pengertian DMO dipersempit 80% dari 25% DMO untuk kelistrikan. Katakan sudah pasok 20% ke semen. Bagi perusahaan tersebut sudah memenuhi DMO tinggal tambah 5% untuk PLN. Sedangkan surat menteri (ESDM) 20% itu untuk PLN. Bagaimana bisa memenuhi DMO karena surat terkesan mempersempit DMO. Ini keluhan para pelaku usaha,” ungkap Hendra.
Tidak hanya itu, pelaku usaha semakin tersudut karena ada bayang-bayang sanksi dari pemerintah. Bagi produsen yang tidak sanggup memenuhi kuota DMO maka jatah produksi akan dipangkas pada tahun depan. Menteri ESDM Ignasius Jonan sudah menerbitkan surat agar mulai melakukan evaluasi DMO untuk semester pertama tahun ini. Padahal, jika merujuk pada aturan sebelumnya evaluasi baru dilakukan pada akhir tahun.
Menurut Hendra, penerapan sanksi cukup mengkhawatirkan. Karena jika tidak memenuhi nanti perusahaan hanya dapat diberikan kuota produksi maksimal empat kali realisasi dalam negeri.
“Contoh produksi 2018 satu juta ton dan ekspor semua. Jika sesuai DMO memasok 250 ribu ton. Jika nanti hanya bisa 100 ribu ton ke dalam negeri karena satu dan lain hal. Berarti nanti RKAP 4×100 ribu. Maka hanya 400 ribu tahun depan. Bagaimana kalau sama sekali tidak memasok dalam negeri,” tandas Hendra.(RI)
Komentar Terbaru