BERBISNIS dalam industri migas bukanlah hal mudah. Selain perlu biaya ekstra besar, tingkat risiko yang ditanggung juga tidak main-main. Perusahaan selain berurusan dengan masalah teknis juga harus berhadapan dengan persoalan non teknis.
Persoalan non teknis yang dimaksud adalah gejolak sosial yang kerap kali ditemui perusahaan migas yang beroperasi di Tanah Air. Sebenarnya salah satu solusi yang ditawarkan sudah tersedia, yakni menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR). Tapi apakah program CSR masih efektif dalam menekan gejolak sosial di area operasi?
Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menyatakan jika dijalankan dengan baik CSR akan sangat efektif menekan gejolak sosial yang jadi momok bagi perusahaan. Pada perkembangannya ada berbagai program CSR yang pasti akan diterima dengan baik oleh masyarakat dengan catatan target serta dampak dari kegiatan itu sudah melalui tahapan kajian secara komprehensif, sehingga manfaatnya bisa langsung dirasakan. Karena itu anggapan yang mengatakan kegiatan CSR sudah lekang oleh zaman tidaklah berdasar.
“Tentu bagi masyarakat, program apapaun sangat diharapkan selama memberikan manfaat, salah satunya dengan CSR ini,” kata Herman kepada Dunia Energi, Kamis (28/6).
Menurut Herman, CSR masih cukup efektif sebagai sarana memberikan kesejukan hubungan antara masyarakat dengan perusahaan. Alur komunikasi antara perusahaan dan masyarakat bisa mengalir lebih baik apabila program CSR yang dijalankan juga berjalan baik. Kegiatan operasional perusahaan tentu akan langsung terdampak dengan adanya kesejukan antar dua pihak ini.
Tidak hanya bagi masyarakat sekitar, tapi CSR juga bisa menjadi sarana penyampaian pesan kepada masyarakat luas bahwa perusahaan menjalankan bisnis dengan memperhatikan kepentingan lingkungan sekitar area operasi.
“Sudah barang tentu dapat menekan resistensi masyarakat terhadap perusahaan,” kata dia.
Kunci dari sebuah program CSR adalah dampak bagi masyarakat. Salah satu contohnya seperti yang dirasakan Mus Mulyadi, satu dari sedikit petani sukus Suku Sakai yang masih bertahan dengan tradisi bertani peninggalan leluhur di Riau.
Suku Sakai sendiri merupakan salah satu suku asli Riau yang kehidupan sehari-hari mengandalkan hasil hutan maupun berladang. Namun seiring perkembangan zaman banyak masyarakat suku yang pelan tapi pasti mulai meninggalkan kehidupan leluhur tersebut. Salah satu alasan suku Sakai tak lagi melirik kegiatan bertani adalah hasil yang didapatkan tidak seperti yang diharapkan, akhirnya banyak lahan yang makin terbengkalai.
Mus Mulyadi sendiri hampir juga ikut hijrah dari kehidupan leluhurnya, sampai akhirnya harapan untuk mengembalikan keadaan benar – benar datang. Dalam penuturannya, kondisi lahan yang dimilikinya sempat mencapai titik nadir alias tidak memberikan hasil apa-apa.
Jabatan sebagai pemuka masyarakat adat suku Sakai membuatnya memberanikan diri untuk menempuh jalan akhir guna mengubah kondisinya yakni melakukan konsultasi dengan PT Chevron Pacific Indonesia, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang memiliki kontrak pengelolaan blok migas di Riau.
Gayung pun bersambut karena konsultasi Mus dengan Chevron disambut baik dan perusahaan siap membina dan membantu pengelolaan lahan lebih profesional.
Berbagai kondisi yang dikonsultasikan Mus ternyata menjadi sasaran dari program PRISMA ( Promoting Sustainable Integrated Farming, Small Enterprise Cluster and Microfinance Access ), sebuah inisiatif yang berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menyasar para petani, pelaku usaha mikro, serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang tersebar di wilayah operasi Chevron.
“Awalnya hanya berbincang-bincang. Saya bilang ke pihak Chevron, kami punya lahan luas tapi belum bisa memanfaatkannya. Pihak Chevron ternyata mau membina dan membantu,’’ kenang Mus menceritakan awal mula kerja sama dengan Chevron. Mus pun akhirnya ditunjuk menjadi Ketua Kelompok Pertanian Terpadu Masyarakat Sakai Pematang Pudu (KPTMSPP), yang dibentuk di Kelurahan Pematang Pudu. Kabupaten Bengkalis, Riau.
Masyarakat diberikan pembinaan dan pelatihan terlebih dahulu. Tidak langsung diberikan bibit atau pakan untukternak. Namun baru ditahap awal cobaan sempat dihadapi program CSR Chevron ini yakni pola pikir dan kebiasaan masyarakat yang memang sulit diubah dalam waktu singkat akhirnya tidak sedikit juga masyarakat yang tidak melanjutkan program tersebut. Akan tetapi melalui kerja sama dan komunikasi apik antara masyarakat dan perusahaan masih ada harapan program tetap berlanjut dan menghasilkan petani ulung dengan profesionalitas tinggi.
“Ada yang tidak betah, tapi bagi saya tidak masalah. Saya pelan-pelan. Alhamdulillah, ada beberapa warga kita di sini sekarang sudah mulai mencontoh. Bagi saya, terasa sangat bermanfaat,” ungkapnya.
Setelah bertahan melalui berbagai proses, termasuk seleksi alam bagi rekan-rekannya sesama petani akhirnya para petani suku Sakai mampu menghasilkan berbagai komoditas pertanian dan perikananantara lain kangkung, cabe, kacang panjang, ayam potong, ikan lele, ikan patin, bebek, dan burung puyuh.
“Jika memiliki keinginan yang kuat untuk berubah, kita pasti berhasil. Hal yang begini kami harus ditularkan kepada anggota masyarakat Sakai lainnya. Sekarang Sakai bertani profesional,” ujar Mus.
Chevron tidak gegabah dalam menerapkan kewajiban program CSR. Pembinaan masyarakat suku Sakai dianggap sebagai salah satu program investasi sosial di bidang pemberdayaan masyakarakat.
Yanto Sianipar, Senior Vice Presiden Polici, Government and Public Affair Chevron Pacific Indonesia, mengungkapkan program tersebut bertujuan menciptakan kemandirian masyarakat melalui pelatihan pengembangan kapasitas, bantuan teknis, dan menawarkan bantuan pinjaman.
“Bantuan pinjaman sendiri melalui lembaga keuangan mikro kepada kelompok tani, usaha kecil, dan koperasi,” kata Yanto.
Dia menjelaskan program PRISMA telah mendukung lebih dari 1.200 mitra binaan.Pelaksanaannya mencakup 36 sektor, termasuk pertanian, perikanan, komoditas makanan olahan, industri kreatif seperti kerajinan tenun, batik, serta desa wisata berwawasan lingkungan dan budaya.
Menurut Yanto, Chevron juga membantu mendirikan sentra – sentra Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di sekitar wilayah operasinya. “Sentra UKM berfungsi sebagai rumah dagang dan pusat bimbingan usaha,” papar dia.
Keselarasan antara kondisi serta masalah yang dihadapi masyarakat dengan suatu program yang dijalankan perusahaan adalah kunci utama dari keberhasilan dari CSR. Hal itu terwujud dalam kerja sama masyarakat tani Sakai dengan perusahaan, karena bisa dilihat ada benang merah antara masalah yang dihadapi masyarakat suku Sakai dengan program PRISMA besutan Chevron.
Menurut Herman, CSR perusahaan, termasuk perusahaan migas masih sangat relevan untuk dijalankan dan masyarakat sekitar wilayah operasi juga pasti mengharapkan adanya program tersebut. Tinggal bagaimana komunikasi yang dibina oleh perusahaan.
Sejatinya menurut Herman, CSR bisa dilakukan dalam bentuk apa saja tentu harus selaras dengan kondisi masyarakat dan lingkungan, jangan sampai program CSR hanya dianggap sebagai program ambil hati masyarakat.
“Harus ada penyesuaian dan inovasi programnya yang selaras dengan situasi kondisi masyarakat,” kata Herman.
Risna Resnawaty, Pakar CSR dari Universitas Padjajaran, mengatakan terobosan dan inovasi dalam program CSR wajib dilakukan oleh perusahaan migas. Terobosan dapat dilakukan pada jenis kegiatan yang sesuai dengan tren global, kebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat (sehingga menjadi khas), menitik beratkan pada penyelesaian masalah (problem solving) yang dimiliki oleh masyarakat setempat atau masalah secara umum.
“Hal ini akan memiliki efek berkelanjutan dan memiliki sebaran manfaat yang lebih besar,” kata Risna.(Rio Indrawan)
Komentar Terbaru