JAKARTA – Pemerintah harus segera mengeluarkan surat resmi yang menetapkan PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero) sebagai pengelola Lapangan Unitisasi Sukowati di Bojonegoro, Jawa Timur. Berlarutnya penetapan keputusan Pertamina EP sebagai operator Sukowati memengaruhi produksi minyak dari lapangan yang berada di Wilayah Kerja Tuban tersebut.
Kardaya Warnika, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan unitisasi sebenarnya hal sederhana. Apalagi Indonesia sudah ratusan kali melakukan kegiatan unitisasi, bukan hanya antara wilayah kerja di dalam negeri atau lintas kabupaten dan provinsi, unitisasi yang pernah dilakukan justru lintas negara, seperti Indonesia dan Vietnam dan juga Indonesia dan Australia.
“Aturan unitisasi itu sudah jelas, tapi dibuat njelimet. Karena reservoar lapangan unitisasi itu mayoritas berada di WK-nya Pertamina EP, ya otomatis Pertamina EP yang jadi operator,” ujar Kardaya saat berbicara pada Dialog Interaktif Menuju Kemandirian Energi Nasional; Menimbang Pelibatan Mitra Asing dalam Mengelola Blok yang Diserahkan ke Pertamina di Jakarta, Selasa (10/4).
Menurut Kardaya, kegiatan unitisasi harus memberikan keuntungan bagi negara secara maksimal. Namun, untuk memulai kegiatan usaha terhadap wilayah kerja yang habis kontrak, perlu ada surat yang jelas.
“Pemerintah harus segera mengeluarkan surat resmi bahwa Pertamina EP sebagai operatorship Sukowati. Itu persoalan gampang, termasuk skema PSC-nya,” katanya.
Pemerintah sebelumnya menetapkan delapan WK migas diserahkan kepada Pertamina. Dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 2881/13/DJM.E/2018 tertanggal 15 Maret 2018 yang ditujukan kepada Kepala SKK Migas dan Direktur Utama Pertamina, salah satu yang ditetapkan adalah WK Tuban. Pemerintah menetapkan komposisi saham partisipasi dan operator WK Tuban pascaterminasi 28 Februari 2018. Di WK Tuban, Pertamina akan memiliki 78,75%, badan usaha eksis yang berminat akan mendapatkan 11,25%, BUMD mendapatkan 10%, dan Pertamina akan menjadi operator.
Namun, sejak kontrak WK Tuban berakhir, hingga Senin (9/4) belum ada upaya dari Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ) untuk menahan laju penurunan produksi alamiah di lapangan Sukowati. Saat ini produksi minyak dari Sukowati berada di level 6.000 barel per hari dari sebelumnya sekitar 11.000 ribu barel per hari dengan hanya menggunakan satu rig. Padahal, eksploitasi 34 sumur di Sukowati, membutuhkan dua rig dan satu hoist perawatan. Di sisi lain, manajemen Pertamina EP untuk meningkatkan produksi Sukowati dengan pemboran di Sukowati. Pertamina EP sudah punya tiga sumur Water Shut Off yang bisa menaikkan produksi Sukowati hingga 1.500 BOPD. Namun, ketidaktegasan pemerintah membuat pekerjaan eksekusinya menggantung.
Pelibatan PetroChina di WK Tuban, yang di dalamnya ada lapangan Sukowati, dipertanyakan karena berpotensi menimbulkan kebingungan pengaturan dalam operasi. Pelibatan mitra (PetroChina) dalam pengelolaan Sukowati yang dihitung masih porsi WK Tuban juga berpotensi merugikan negara. Pasalnya, Original Oil in Place (OOIP) statik lapangan Sukowati sebesr 297 MMSTB, dengan menggunakan moel 3D yang disepakati dan batas WK, OOIP WK Pertamina EP sebesar 274,42 MMST dan WK Tuban sebesar 21,93 MMSTB. Kumulatif produksi Sukowati per 31 Januari 2018 sebesar 114,6 MMSB terdiri atas kumulatif produksi WK Pertamina EP 91,7 MMSTB dan kumulati produksi WK Tuban 22,6 MMSTB.
Kardaya juga menyoroti mitra Pertamina dalam pengelolaan ladang minyak habis kontrak. Menurut dia, hal itu sejatinya ditetapkan Pertamina, bukan oleh pemerintah. Penentuan calon mitra harus disesuaikan dengan kebutuhan yang diinginkan oleh Pertamina.
“Dalam penentuan mitra kerja, sebelumnya sudah ada preseden di Blok Mahakam. Untuk blok yang kecil saja direcokin pemerintah (dalam menentukan mitra), bagaimana kalau blok yang besar,” ujarnya.
Pri Agung Rakhmanto, Founder ReforMiner Institute, mengatakan posisi Pertamina sama dengan kontraktor kontrak minyak dan gas bumi lainnya. Tetapi Pertamina harus diberikan hak khusus karena sebagai BUMN dengan total kepemilikan saham 100%.
“Aturan tentang status Pertamina dan juga hak khusus yang harus diberikan sudah jelas aturannya. Pun demikian ketika sebuah kontrak berakhir, secara aturan, Pertamina mengajukan permohonan kemudian di-review dan disetujui atau tidak oleh pemerintah,” katanya.
Kekisruhan dalam blok terminasi, lanjut Pri, karena ada aturan yang dicampuraduk. Ini diawali dengan penugasan kepada Pertamina. Padahal, tidak ada ketentuan penugasan. Penugasan berdasarkan apa. Jika ingin diserahkan, harus jelas prosedurnya. Jangan sampai penugasan kepada Pertamina, hanya ingin agar skema gross split berjalan.
“Kalau aturan tidak dipegang, tunggulah kehancuran. Istilah penugasan tidak ada rujukan dasar hukumnya. Harusnya melalui prosedur seasuai ketentuan perundangan,” jelas dia.
Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan seharusnya memberikan kepercayaan kepada Pertamina untuk
mengambil seluruh blok terminasi. Bahwa kemudian Pertamina membutuhkan mitra atau tidak, bergantung pada kebijakan manajemen Pertamina.
“Dalam menentukan mitra, Pertamina harusnya menggandeng mitra atau badan usaha yang mempunyai semangat yang sama tanpa ada intervensi. Pemerintah harus berikan kepercayaan kepada Pertamina tanpa ada intervensi siapa pun. Biarkan Pertamina menentukan partner,” katanya.(RA/RI/AP)
Komentar Terbaru