JAKARTA – Pengelolaan blok habis kontrak (terminasi) oleh kontraktor baru seringkali terhambat lantaran belum jelasnya pihak yang bertanggung jawab untuk membayar atau menanggung dana pasca tambang (abandonment site restoration/ASR). Padahal, dengan kajian dan perhitungan yang tepat banyak cara yang bisa dilakukan kontraktor untuk memenuhi kewajiban tersebut dengan efisien.
Djoko Siswanto, Deputi Pengendalian Pengadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan dengan cara yang tepat, ASR bisa dilakukan dengan cara efisien.
Kewajiban ASR bagi kontraktor dilakukan pada sumur-sumur minyak yang telah memasuki masa akhir produksi. Seketika tidak ada tekanan dalam sumur maka cara sederhana untuk menutup sumur bisa dilakukan, sehingga penanganannya juga berbeda dengan menutup sumur minyak yang blow out.
“Makanya dicari yang efisien, kalau kita pakai prosedur pakai kapal besar , potong platform dan sebagainya, tutup sumur juga seperti untuk tutup sumur blow out, ya mahal,” kata Djoko disela Energy Business Forum di Jakarta, Rabu (7/2).
Salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan misalnya dengan melakukan penutupan sumur secara temporary atau sementara. Dengan cara itu maka sebenarnya ada keuntungan, baik bagi kontraktor eksisting maupun kontrkator baru. Bagi kontraktor eksisting tentu biayanya akan jauh lebih murah dan bagi kontraktor baru sumur yang di tutup sementara itu masih bisa langsung dimanfaatkan jika ada indikasi tersisa potensi minyak.
“Saya sarankan jangan di abandon permanen, tapi temporary saja, karena kalau ada kontraktor baru mau masuk disitu, kan mau ngebor lagi. Jadi temporary, siapa tahu operator baru temukan potensi atau biaya abandonnya juga lebih murah (oleh operator baru), kalau masih ada minyak atau gas kan bisa dibuka lagi,” ungkap Djoko.
Dia menambahkan salah satu contoh nyata efisiensi dalam penanganam ASR adalah kasus East Kalimantan. Semula PT Chevron Pacific Indonesia mengkalkulasikan biaya ASR mencapai US$ 1 miliar, namun setelah dilakukan perhitungan ulang dan efisiensi mekanisme ASR, biayanya bisa jauh diturunkan.
“East Kalimantan dari US$ 1 miliar menjadi sekitar US$ 300 juta setelah dikaji-kaji lagi pakai teknologi paling murah, misalnya coil tubing dengan semen pompa itu tidak mahal. Kalau pakai rig ukuran besar kan mahal. Intinya dikasih semen, tapi tekniknya saja yang berbeda,” kata Djoko.
Saat ini tengah disusun regulasi untuk mengatur kewajiban ASR bagi para kontraktor. Kewajiban ASR sebenarnya sudah ada dalam bentuk iuran yang dikeluarkan kontraktor kemudian disetorkan kepada SKK Migas untuk kemudian disimpan dalam rekening bersama.
Biaya ASR dari operator yang akan habis masa kontrak bisa berasal dari patungan pungutan tersebut. Namun yang menjadi persoalan adalah masih terdapat kontraktor tanpa perjanjian menanggung ASR tersebut, sehingga ada keraguan untuk menggunakan dana tersebut.
Apalagi tidak jarang dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan ASR juga tidak sebanding dengan iuran yang disetorkan karena kebutuhan dana ASR sangat besar.
Menurut Djoko, akan dibuat satu regulasi sehingga dana iuran ASR tersebut bisa digunakan untuk prioritas lapangan mana yang harus di abandon.
“Itu kan dana terkumpul dari kontraktor, misalkan satu kontraktor dananya tidak cukup buat ASR untuk platform dia. Nah ini kan dana bersama, karena itu harus dibuat satu kebijakan bahwa penggunaan dana ini bisa dimana saja yang harus dilakukan abandon,” tandas Djoko.(RI)
Komentar Terbaru