JAKARTA – Tidak adanya perusahaan nasional yang bisa mengelola tambang bawah Grasberg, Papua menjadi alasan pemerintah untuk terus bernegosiasi perpanjangan kontrak dengan PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat. Pemerintah masih mengandalkan kemampuan Freeport untuk memastikan produksi emas dan tembaga di Grasberg tetap berjalan.
Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan ada wacana untuk menunggu kontrak Freeport Indonesia berakhir pada 2021, sehingga pemerintah memperoleh hak penuh pada tambang Grasberg tanpa harus mengeluarkan dana besar untuk melakukan divestasi. Namun yang menjadi persoalan adalah pengelolaan tambang Grasberg cukup kompleks dan belum tentu bisa dioperasikan langsung oleh perusahaan Indonesia.
Salah satu perusahaan yang memiliki kegiatan pertambangan sejenis adalah PT Aneka Tambang Tbk yang kini telah menjadi bagian dari holding BUMN tambang yang direncanakan untuk melakukan divestasi saham Freeport Indonesia.
“Ada dua pandangan, kalau tidak diperpanjangan bisa diserahkan ke kontraktor asing lagi atau diserahkan ke Antam. Saya yakin tidak bisa. Karena expertise tidak pernah ada. Ini pertambangan tembaga bawah tanah yang terowongan 700 km. Kami tidak pernah kelola sekompleks itu, bahkan di dunia. Itu tantangannya,” kata Jonan dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Kamis (25/1).
Untuk itu, pemerintah memastikan perundingan tetap berjalan sehingga divestasi bisa rampung dengan dana seminimal mungkin. Pemerintah telah menyiapkan strategi yakni dengan mengakuisisi participating interest atau hak partisipasi milik Rio Tinto terhadap produksi Freeport Indonesia.
Jonan mengatakan sudah mendapatkan kepastian dari Freeport dan Rio Tinto, bahwa jika kontrak Freeport diperpanjang maka nilai hak partisipasi Rio Tinto bisa dikonversi menjadi saham.
“Dalam perjanjian Freeport-McMoRan dengan Rio Tinto, kalau ini diperpanjang 2021, PI 40% ini bisa dikonversi jadi saham. Di dalam diskusi kesepakatan kami tertulis dengan Freeport-McMoRan bahwa kami akan ambil ini dan akan langsung dikonversi jadi saham di tahun yang sama. Kalau dapatnya tahun ini, misalnya bulan depan kami langsung konversi jadi saham 40%,” ungkap dia.
Saat ini tim khusus dari Kementerian Keuangan bersama dengan auditor independen Morgan Stanley, masih melakukan perhitungan serta evaluasi berapa nilai divestasi yang harus ditebus pemerintah. Pemerintah tidak akan gegabah dengan nilai divestasi karena harus sesuai dengan nilai kewajaran. Karena itu dibutuhkan sedikit waktu untuk memastikan nilai yang wajar tersebut.
Selain itu, perundingan masih tetap menjadi pilihan pemerintah sebagai upaya menjaga iklim investasi agar tetap kondusif.
“Supaya kita bisa tahu 40% kira-kira ini nilainya berapa, disamping itu ini akan digunakan untuk negosiasi mengambil sisanya dari Freeport-McMoRan. Kalau kita mau tabrak langsung beli, pasti harganya mahal. Dan kita menempuh upaya yang fair bagi investor asing juga,” kata Jonan.
Jonan menegaskan apabila negosiasi terus berjalan alot, bukan tidak mungkin akan ditempuh berbagai langkah lain sebagai alternatif, termasuk menunggu hingga kontrak Freeport Indonesia berakhir.
“Kalau negosiasi ini terus sampai berlanjut, ya nyerah akhirnya. Mungkin pemerintah terpaksa akan mengambil tindakan berbeda, apa tidak memperpanjang atau bagaimana. Tapi ini keputusan akhir di presiden bukan di saya,” tegas Jonan.
Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR, menegaskan sebenarnya pemerintah tidak perlu khawatir ketika harus mempersiapkan perusahaan nasional untuk mengoperasikan pertambangan Grasberg. Antam meskipun secara pengalaman tidak sehebat Freeport, secara operasional kegiatan masih dapat dilakukan dengan kembali mempekerjakan para pekerja Freeport Indonesia.
Dia mencontohkan transisi cukup baik ketika Blok Mahakam diserahkan ke PT Pertamina (Persero) dari PT Total E&P Indonesie.
“Skenario tidak diperpanjang harus disiapkan, yang paling dekat itu Antam. Tentunya karyawan di sana sebagian besar nanti jadi karyawan BUMN,” kata dia.
Kurtubi menilai pemerintah tetap harus optimistis terhadap kemampuan bangsa sendiri untuk mengelola tambang Grasberg. Berbagai alternatif pengelolaan harus tetap dikaji untuk menunjukkan kemampuan bangsa di mata Freeport.
“Jadi konversi karyawan Freeport Indonesia, kita akan bisa mengoperasikannya tentu dengan berbagai macam ketentuan. Kami melihat pemerintah seperti dimainin. Harus ada posisi alternatif yang disiapkan,” tandas Kurtubi.(RI)
Komentar Terbaru