JAKARTA – Hingga awal 2018, persentase pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang menempatkan dana jaminan reklamasi (jamrek) dan jaminan pascatambang hanya 50% dari total keseluruhan IUP yang ada atau hampir 5.000 IUP yang tetap beroperasi tanpa memenuhi kewajiban mereka. Padahal, Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Reklamasi dan Pascatambang menyebutkan, penempatan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang merupakan prasyarat wajib yang harus dipenuhi sejak awal, baik IUP yang berstatus eksplorasi maupun IUP yang telah memasuki fase operasi produksi.
Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengungkapkan beroperasinya IUP yang tidak menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang merupakan bukti nyata dari sistem pengawasan yang tidak berjalan dengan
baik.
“Perusahaan yang secara prosedur menyalahi regulasi dan standar kegiatan pertambangan masih saja dibiarkan leluasa menjalankan kegiatan operasinya. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi,” tegas Aryanto, Kamis (25/1).
Carolus Tuah, Koordinator POKJA 30 Samarinda mengungkapkan, implikasi buruk ketidapatuhan IUP terkait kewajiban reklamasi dan pascatambang tampak nyata di berbagai daerah. Di Samarinda misalnya, 32 IUP meninggalkan 232 lubang tambang menganga tanpa dilakukan reklamasi.
“Sepanjang 2012 hingga 2017, tercatat 28 nyawa anak yang terenggut di lubang tambang yang dimiliki oleh 17 IUP di Kalimantan Timur,” ungkap Carolus.
Menurut Carolus yang juga anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia, penegakan hukum tidak terjadi karena pemerintah seolah tidak bernyali untuk menagih janji reklamasi dan pascatambang.
“Apa makna pembinaan terhadap IUP? Kini yang terjadi justru pembiaran terhadap kejahatan lingkungan?” kata dia.
PWYP Indonesia mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah segera mencabut IUP yang belum menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan kewenangannya. Hal ini mengingat upaya penertiban kewajiban IUP yang sudah dilaksanakan, tak kunjung mendapatkan hasil yang memuaskan.
Terhitung sejak 2015 hingga 2017, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) telah memberikan 3 (tiga) kali surat peringatan. Bahkan, pada bulan Juni tahun 2017 Dirjen Minerba telah menerbitkan Surat Edaran (SE) nomor 1187/30/DJB/2017 perihal Sanksi Penghentian Sementara, untuk meningkatkan kepatuhan pelaku usaha pertambangan, namun upaya ini tidak cukup efektif.
Data Kementerian ESDM per awal 2018 menunjukkan bahwa persentase pelaksanaan kewajiban jaminan reklamasi dan pascatambang hanya naik sebesar 2% dibandingkan periode September 2017.
Menurut Aryanto, secara administratif, pencabutan IUP merupakan langkah yang harus segera diambil upaya melakukan penertiban. Harus digarisbawahi, langkah pencabutan IUP ini tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP dalam melaksanakan kewajiban reklamasi dan pascatambang.
“Kementerian ESDM dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus melakukan pengawasan dan memastikan Pemerintah Daerah benar-benar mencabut IUP yang tidak menempatkan jamrek dan pascatambang serta menyiapkan sanksi bagi Kepala Daerah yang tidak menjalankannya,” kata Aryanto.
Dia menambahkan, pemerintah harus menggunakan instrumen pidana, baik yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup (PPPLH), terhadap seluruh perusahaan baik KK & PKP2B maupun pemegang IUP yang terbukti tidak patuh terhadap kewajiban reklamasi dan pascatambang yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang signifikan dan menyebabkan hilangnya nyawa.”
“Selain itu, KPK, Kapolri dan Jaksa Agung harus memprioritaskan dan memastikan penyelesaian kasus pidana maupun korupsi yang dilakukan korporasi sektor pertambangan, termasuk menggunakan instrumen Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi” kata Aryanto.(ES)
Komentar Terbaru