JAKARTA – Kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas) selama ini tidak mempunyai payung hukum yang kokoh, dan cenderung inkonstitusional. Maka dari itu, revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas) harus dipercepat guna memberikan kepastian hukum.
Desakan ini diungkapkan pakar hukum dari Universitas Jayabaya Jakarta, Ismail Rumadan dalam Seminar Energy Outlook 2013 di Wisma Antara Jakarta, Senin, 10 Desember 2012.
Menurutnya, pembentukan Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas) pasca pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki payung hukum yang kuat, untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor.
“Sebaliknya, saat sebelum keluarnya putusan MK, investor-investor asing sangat leluasa menguasai kegiatan migas dari hulu hingga hilir. Lihat, dari sekian banyak blok migas kita, dominan dikuasai asing,” cetus Peneliti Muda Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung ini.
Ismail mencontohkan, saat pemerintah mematok target produksi minyak rata-rata 970 ribu barel per hari pada 2011, Pertamina hanya memegang peranan 13, 61% atau sekitar 132 ribu barel per hari. Chevron sebagai perusahaan asing justru ditargetkan sebesar 38,14% atau 370 ribu barel per hari. Pembukaan SPBU asing diperkenankan di seluruh wilayah Indonesia, dengan capaian 800.000 SPBU di Indonesia.
Selain itu, KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) dinilai tidak memiliki dasar yang istimewa bagi pemerintah. Kontrak kerja sama ini akan habis dalam kisaran masa 2013 – 2021. Negara tidak memiliki poin keistimewaan dalam kontrak kerja sama tersebut. Dengan kata lain, pemerintah tidak tegas menerapkan kontrak kerja sama.
Ismail pun mengatakan, pembubaran BP Migas oleh MK, harus menjadi momen kebangkitan migas Indonesia. Hal itu menuntut syarat, penyelesaian revisi UU Migas harus dipercepat.
“Secepatnya pemerintah mengamandemen UU Migas 2001 pascapembubaran BP Migas untuk memberi kepastian hukum terhadap kegiatan pengelolaan migas di Indonesia,” tegasnya. Hal ini penting, ujarnya, supaya investor asing maupun investor nasional mau menanamkan modalnya.
“Harus segera ada UU yang baru hasil revisi, guna memberi jaminan kepastian hukum terhadap investor asing maupun nasional untuk melakukan investasinya di sektor minyak dan gas bumi,” kata Ismail.
(CR – 1 / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru