BOGOR– Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tengah mengembangkan Supermikroba yang dapat menghasilkan berbagai macam produk turunan, salah satunya biorefineri sebagai energi alternatif penghasil bioetanol dan biokatalis. Super Mikroba penghasil biorefineri tersebut menurut rencana diluncurkan pada Maret 2018.
Yopi Sunarya, Manajer Proyek Biorefineri LIPI, mengatakan Supermikroba dikembangkan oleh LIPI bekerja sama dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) yang sudah berjalan selama empat tahun. Target dari kerja sama ini adalah menghasilkan Supermikroba yang mampu memproduksi enzim yang dapat menghasilkan bioetanol atau biokatalis yang bisa mencapai 50 gram per liter.
“Untuk bisa menghasilkan bioetanol atau biokatalis dengan enzim atau ragi hasil rekayasa mikroba menjadi 50 gram per liter itu sangat berat, saat ini baru bisa menghasilkan 40 gram per liter, ini terus kita kembangkan,” kata Yopi di sela Simposium Internasional ISIBio 2017 di Bogor, Rabu (27/9).
Yopi menjelaskan dalam menghasilkan Supermikroba, peneliti LIPI yang didukung pendanaan JICA telah menyeleksi 2.000 isolat mikroba lokal yang tersimpan di Bank Mikroba LIPI.
Seleksi dilakukan untuk mencari mikroba yang unggul, mampu kuat mampu memproduksi enzim yang dapat menghancurkan struktur pada serat biomassa yang menjadi bahan baku utama biorefineri, seperti ampas sawit, batang sawit perasan, atau ampas tebu, kakao, dan tembakau.
“Memasuki tahun keempat , LIPI sudah dapat masing-masing untuk mikroba enzim dan mikroba untuk fermentasi. Saat ini dalam proses rekayasa, konfirmasi,” ujar Yopi seperti dikutip Antara.
Yopi menjelaskan, mikroba yang dikembangkan dalam Supermikroba tersebut adalah mikroba lokal Indonesia. Bukan mikroba impor, karena jika menggunakan mikroba dari luar tidak efisien, daya tahan hidupnya tidak lama.
“Keuntungan buat kita sebagai negara tropis memiliki sumber daya mikroba yang banyak, ini yang membuat Jepang tertarik bekerja sama,” katanya.
Menurut dia, produksi Supermikroba dilakukan rekayasa karena teknologi yang dihasilkan harus efisien. Cara untuk mengefisiensikannya adalah melalui pendekatan rekayasa genetika.
“Teknologi pengembangan mikroba belum banyak dilakukan dan memerlukan biaya yang besar. Karena itu, LIPI membangun kolaborasi internasional untuk menghasilkan Super Mikroba,” ujar dia.
Terkait Biorefineri, Yopi menjelaskan Biorefineri sama seperti “oilrefineri” yang berasal dari fosil yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau sumber energi.
Biorefineri sebagai energi alternatif yang memanfaatkan biomassa yang ada pada tumbuhan yang dihasilkan industri pertanian, kehutanan, perkebunan dan lainnya.
“Karena Indonesia negara tropis biomassanya akan ada terus-terusan, dipangkaspun akan tumbuh lagi. Jadi ketersediannya itu tidak akan berhenti selama ada matahari, sumber air dan tanah yang bagus,” katanya.
Brazil telah mengembangkan Biorefineri dari pati untuk menghasilkan Bioetanol. Khusus di Indonesia penggunaan pati sebagai penghasil bioetanol sangat mahal harganya karena harus bersaing dengan pangan.
Biomassa yang dikembangkan oleh LIPI bekerja sama dengan JICA adalah biomassa berbasis bahan mentah lokal nonpati.
“Maka kami coba mencari sumber biomassa yang tidak dipakai khusus manusia dan banyak dimanfaatkan. Itu adalah pohon, dan yang paling banyak di Indonesia kalau dilihat dari segi industri itu kelapa sawit, tebu, kopi, kakao dan tembakau,” katanya.
Dari industri tersebut, menurut Yopi, banyak sisa ampasnya seperti dalam sawit ada istilah tandan kosong, batang hasil perasan yang strukturnya disebut serat.
Serat tersebut tidak bisa dimakan oleh manusia, tapi bisa oleh sapi karena punya proses pencerna. Struktur tersebut bisa dihancurkan oleh mikroba.
“Maka LIPI menggunakan mikroba untuk menghacurkan serat itu. Menjadi produk-produk yang bisa digunakan oleh manusia,” katanya.
Yopi menambahkan salah satu teori biorefineri itu dari biomassa tadi dihancurkan dengan berbagai mancam jenis mikroba bisa menghasilkan berbagai macam produk. Seperti biofuel (bahan bakar hayati) seperti bioetanol, biodisel.
“Selain untuk energi, pemanfaatan mikroba juga bisa untuk menghasilkan plastik, untuk pangan juga bisa. Seperti di Jepang bisa untuk baja ringan,” katanya.
Memasuki tahun keempat kerja sama LIPI dan JICA memperkuat urgensi Biorefineri bagi produksi energi alternatif Indonesia. Hal ini dibahas dalam simposium internasional ISIBio 2017 yang dihadiri oleh LIPI, pihak Jepang, pemangku kepentingan, pengambil kebijakan dan juga sektor swasta.
“Simposium ini diharapkan mampu memberikan solusi bagi pengembangan biomassa agar segera terimplementasi menjadi energi alternatif bagi Indonesia lewat teknologi biorefineri,” kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati. (DR)
Komentar Terbaru