KETERSEDIAAN listrik di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah. Pasalnya, suplai yang tersedia dikhawatirkan belum mampu mencukupi konsumsi listrik dalam negeri yang terus naik. Padahal, kenaikan konsumsi listrik selalu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Presiden Joko Widodo pun memiliki program guna mengatasi persoalan ini dengan proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). Proyek ini bertujuan memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sehingga dengan besarnya ketersediaan pasokan listrik ini akan berdampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, termasuk di luar Jawa, yang sebelumnya kekurangan suplai listrik.
Data PT PLN (Persero) per Maret 2017 mengungkapkan, setidaknya perlu ada tambahan kapasitas listrik sebesar 7.000 MW per tahun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi antara 6-7% per tahun. Itu artinya, penambahan kapasitas 35.000 MW dalam 5 tahun (2014-2019) menjadi proyek yang harus terealisasi guna mencegah negeri ini terhindar dari krisis listrik.
Hanya saja, meskipun konsumsi listrik terus meningkat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jumlah konsumsi listrik nasional baru seperempat dari indikator negara maju di dunia. Konsumsi listrik nasional hanya 956 per Kilowatt-hour (KWh) per kapita, baru 23,9% dari konsumsi listrik negara maju sebanyak 4.000 KWh per kapita.
Rasio elektrifikasi yang rendah menjadi persoalan kedua di sektor ini setelah masalah penyediaan kapasitas listrik. Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini terdapat 2.519 desa yang belum dialiri listrik. PLN hanya mampu mengalirkan listrik di 504 desa hingga tahun 2019, atau hanya bisa memfasilitasi 20% dari total desa yang belum memiliki listrik.
Pada 2019, pemerintah memasang target rasio elektrifikasi ambisius yakni 97%, naik dari akhir tahun 2016 sebesar 91,16%. Dengan adanya proyek 35.000 MW, pemerintah berharap rasio elektrifikasi semakin meningkat.
PLN memperkirakan pembangunan infratruktur ketenagalistrikan di seluruh wilayah Indonesia membutuhkan dukungan dana yang cukup besar, yakni mencapai Rp 1.000 triliun. Dana ini tidak hanya berasal dari PLN tapi juga dari pihak lain.
Sarwono Sudarto, Direktur Keuangan PLN, mengatakan PLN saat ini sudah memperoleh pendanaan melalui beberapa model, seperti obligasi, pinjaman bank, penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA), pinjaman dengan export credit agency (ECA), dan listrik swasta. Meski demikian, karena terkendala Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Perbankan dan sumber-sumber pendanaan Nasional, PLN berinovasi mencari alternatif pendanaan lainnya.
“Salah satu alternatif pendanaan tersebut adalah dengan mentransformasi aset finansial menjadi efek yang disekuritisasi. Sekuritisasi aset atau Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA),” ungkap Sarwono.
Dia menerangkan, rencana sekuritisasi atau EBA yang dilakukan PLN dengan cara menkonversi pendapatan di masa depan menjadi surat berharga untuk mendapatkan cash di awal. Yang dijadikan dasar sekuritisasi adalah future cash flow dari pendapatan PT Indonesia Power, anak usaha PLN di bidang pembangkitan listrik.
Aset yang disekuritisasi merupakan aset keuangan, yaitu piutang penjualan listrik yang dihasilkan oleh salah satu pembangkit PT Indonesia Power, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya. PLTU Suralaya memiliki kapasitas 3.400 megawatt (MW) dan berkontribusi sekitar 12% pada sistem Jawa Bali. PLTU Suralaya adalah PLTU terbesar di Indonesia, dan merupakan aset yang sangat bagus dan terawat.
Tanggung jawab penambahan kapasitas dan meningkatkan rasio elektrifikasi tak bisa hanya PLN, perlu ada sokongan dari stakeholders lain terutama swasta. Atas dasar itu, tahun lalu terbit Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2016. Regulasi ini membuka keran bagi swasta untuk bisa melakukan usaha penyediaan listrik, yang terdiri dari pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan listrik ke konsumen dalam skala kecil.
Keterlibatan swasta ini menjadi penting supaya harga listrik bisa lebih efisien, konsumsi pun meningkat dan pada akhirnya rasio ideal elektrifikasi bisa tercapai. Peran swasta pun mulai tampak di proyek 35.000 MW di mana swasta dilibatkan bersama PLN untuk membangun 109 pembangkit.
Di sisi lain, berdasarkan survei Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) bekerjasama dengan PwC Indonesia menunjukkan sejumlah tantangan sektor ketenagalistrikan Indonesia.
Yanto Kamarudin, Power & Utilities Partner PwC Indonesia, mengungkapkan para responden yang di survei terdiri dari pelaku usaha ketenagalistrikan, menyampaikan beberapa tantangan utama, yakni ketidakpastian regulasi, kurangnya koordinasi di antara Kementerian/Lembaga pemerintah lainnya, dan pengelolaan program 35 ribu MW.
“Survei itu mengungkapkan pemerintah telah melakukan sejumlah inisiatif untuk mengatasi tantangan dalam industri ketenagalistrikan,” ujar Yanto.
Menurut Yanto, para responden berpandangan bahwa apabila pendongkrak kebijakan seperti perbaikan alokasi risiko, dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreements/PJBL) diterapkan, maka hal ini dapat mendukung elektrifikasi dan keandalan pasokan listrik.
Sementara, terkait iklim investasi, para investor telah melihat adanya dukungan kuat pemerintah.
Yanto menambahkan, meskipun terdapat kekhawatiran itu, para investor yang menjadi responden survei yakin bahwa pemerintah telah menunjukkan dukungannya terhadap investasi swasta dan menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para investor swasta di industri ketenagalistrikan.
Survei juga menunjukkan sebanyak 67% responden mengkhawatirkan tentang ketersediaan pasokan listrik untuk lima tahun ke depan. Kekhawatiran ini konsisten dengan pertanyaan-pertanyaan seputar ketepatan waktu pelaksanaan rencana program 35 ribu MW.
Hambatan lain yang menjadi kekhawatiran industri adalah potensi kurangnya tenaga kerja terampil di sektor ketenagalistrikan.
Ali Herman, Ketua APLSI, menekankan bahwa laporan hasil survei mengakui peranan sektor swasta dalam mendukung pertumbuhan dan keandalan industri ketenagalistrikan Indonesia.
“Survei juga mengungkapkan permintaan dan teknologi yang membentuk lanskap industri ketenagalistrikan,” tandas Yanto.(YURIKA INDAH P)
Komentar Terbaru