JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta segera turun tangan dan mencari solusi terhadap potensi mangkraknya puluhan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) dengam total kapasitas 500 megawatt (MW). Padahal proyek PLTMH tersebut merupakan bagian dari proyek 35 ribu MW yang dicanangkan pemerintah.
Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air, mengatakan potensi mangkraknya berbagai pembangunan PLTMH disebabkan pinjaman dana dari bank nasional tidak disetujui. Bank nasional enggan memberikan pinjaman karena risiko bisnis PLTMH dinilai terlalu besar.
“Untuk mini hidro negatif dari bank nasional tidak dikasih. Itu pertimbangannya tidak menguntungkan, jadi tidak mau kasih pendanaan baru. Risikonya terlalu tinggi,” kata Riza kepada Dunia Energi.
Dia menambahkan salah satu pertimbangan yang memberatkan para pengembang PLTMH di mata perbankan nasional justru bukan dari kapasitas pengembang yang diragukan, melainkan dari sisi regulasi atau payung hukum yang diterbitkan pemerintah.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik pasal 8 ayat 2a disebutkan terdapat risiko yang harus ditanggung badan usaha yang disebabkan perubahan atau kebijakan dari pemerintah (government force majeure).
Menurut Riza, adanya poin tersebut menjadikan kegiatan bisnis menjadi penuh dengan ketidakpastian. Pasalnya, jika sewaktu-waktu ada perubahan regulasi dan berdampak pada keuangan perusahaan juga dikhawatirkan berdampak pada kemampuan perusahaan mengembalikan pinjaman.
Apalagi biasanya bank nasional hanya memberikan bunga dengan waktu singkat. Padahal idealnya bagi pengusaha jangka waktu bunga diatas 10 tahun. Investasi untuk bangun PLTMH juga tidak sedikit karena karakteristik pembangunan pembangkit bertenaga air jika makin besar kapasitas makin murah sementara PLTMH di dorong pemerintah dibangun di daerah frontier sehingga kapasitasnya tidak lebih dari 10 MW dengan biaya investasi sekitar US$ 2 juta – US$ 2,5 Juta per MW.
“Padahal kita 10 tahunnya untuk bayar hutang saja. Kalau di bank-bank Indonesia biasanya 5-7 tahun kasih jangka waktu,” ungkap dia.
Sejumlah PLTMH dengan total kapasitas 500 MW saat ini dihentikan sementara pengembangannya tersebar di beberapa wilayah seperti di pulau Jawa dan Sumatera.
Selain itu kebijakan lain yang juga memberatkan pada pengembang juga masih terdapat dalam regulasi di antaranya dengan penetapan Biaya Pokok Produksi (BPP) yang mengacu BPP regional.
“Padahal dulu ikut tarif Sumatera misalnya, tapi tiba-tiba dipecah lagi itu kebijakan yang kita tidak sangka,” ungkap Riza.
Belum lagi dengan keharusan pengembang untuk membangun, memiliki, mengoperasikan, dan mengalihkan (build, own, operate, and transfer/BOOT) pembangkit ke negara melalui PT PLN (Persero).
Padahal Riza mengaku sudah konfirmasi langsung ke Disisi lain, PLN merasa tidak akan dirugikan jika PLTMH tidak diserahkan ke negara karena kapasitasnya yang kecil justru bisa menambah beban. Apalagi PLN memiliki tugas mengurusi pembangkit-pembangkit dengan kapasitas raksasa di masa datang.
“BOOT dihilangkan kan tidak ada yang dirugikan cuma katanya ada pendapat KPK semua sumber daya alam dikuasai negara. Oke 20 tahun lagi PLN tertarik dengan pembangkit kurang dari 10 MW, tapi dibeli dengan harga saat itu, atau 85%-nya. Kalau bisa usulan ini di dengar,” tandas Riza.(RI)
Komentar Terbaru