JAKARTA – Naskah akademik revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sudah selesai dan kini dalam proses diskusi internal di pemerintah. Revisi UU perlu segera direalisasikan mengingat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir membutuhkan waktu yang sangat lama, sehingga diperlukan program yang diputuskan pemerintah sebagai upaya nyata persiapan.
“Kalau revisi UU, dari sisi BATAN, berharap agar pemangku kepentingan semakin banyak, tidak hanya dimonopoli Batan dan Bapeten. Kalau masalah energi, tugas Kementerian ESDM. Kita (Batan) berposisi sebagai clearing house dan technical supporting organization,” ujar Djarot Sulistio Wisnubroto, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), kepada Dunia Energi Senin(17/4).
PLTN merupakan opsi untuk mencapai bauran energi baru terbarukan (EBT) paling sedikit 23% pada 2025, seperti tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017-2026. Namun, mengingat masih cukup besarnya potensi energi terbarukan, maka pemanfaatan energi nuklir merupakan pilihan terakhir.
Dalam Kebijakan Energi Nasional dan draf Rencana Umum Ketenagalistrikan (RUKN) 2015 – 2034, dinyatakan energi nuklir dimanfaatkan dengan mempertimbangkan keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi EBT sesuai dengan nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.
Setiap pengusahaan instalasi nuklir wajib memperhatikan keamanan dan risiko kecelakaan serta menanggung seluruh ganti rugi kepada pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat kecelakaan nuklir. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemandirian industri penunjang dan jasa penunjang nasional dalam pemanfaatan energi nuklir.
Draf RUKN 2015 – 2034 juga menyebutkan apabila target porsi EBT menjadi paling sedikit sebesar 23% pada tahun 2025 tetap harus tercapai. Jika realisasi pembangunan pembangkit yang memanfaatkan sumber energi panas bumi, tenaga surya, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal) belum bisa memenuhi target tersebut, energi nuklir baru dijadikan pilihan.
Dalam upaya mendorong pemanfaatan sumber EBT yang lebih besar untuk penyediaan tenaga listrik, penelitian dan kajian kelayakan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan untuk dilaksanakan agar pengembangannya dapat dilakukan secara maksimal. Tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukannya kajian ataupun studi pemanfaatan energi nuklir dalam penyediaan tenaga listrik.
Untuk pengambilan keputusan dalam rencana pembangunan PLTN tidak semata – mata didasarkan pada pertimbangan keekonomian dan profitability. Pertimbangan lain adalah aspek politik, KEN, target penggunaan EBT paling sedikit 23% pada 2025, penerimaan sosial, budaya, perubahan iklim dan perlindungan lingkungan. Dengan adanya berbagai aspek yang multi dimensional tersebut, program PLTN hanya dapat diputuskan pemerintah.
Selain itu, tingginya investasi awal dan panjangnya waktu implementasi dari pembangunan PLTN memerlukan dukungan pemerintah dalam jangka panjang agar pembangunan PLTN dapat diselesaikan dengan sempurna dan tepat waktu.
Djarot mengatakan, BATAN sudah melakukan sosialisasi dan upaya jajak pendapat dengan masyarakat, di samping juga bekerjasama dengan Pemda (Pemerintah Daerah) terkait ketertarikan mereka terhadap teknologi nuklir. Menurut dia, Batan sudah menjalin kerjasama dengan Pemda Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim) dan Bangka Belitung (Babel).
“Kerja sama tidak hanya terkait pengembangan PLTN, namun teknologi nuklir secara keseluruhan, termasuk pertanian dan industri,” tandas Djarot.(RA)
Komentar Terbaru