JAKARTA – Pemerintah diminta tidak tinggal diam terhadap pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang berjalan lambat. Bongkar pasang kebijakan yang dilakukan selama ini untuk bisa mempercepat pengembagan EBT dinilai tidak memiliki dampak maksimal. Bahkan target bauran energi dari EBT sebesar 23 persen pada 2025 juga diperkirakan tidak akan tercapai.
Rinaldy Dalimi, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengungkapkan pada dasarnya solusi untuk mengembangkan EBT sudah tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan hanya tinggal diimplementasikan, pemerintah dituntut berperan cukup besar dalam strategi tersebut karena risiko ketidakpastian pengembangan EBT juga masih besar di Indonesia.
Menurut dia, strategi pertama adalah dengan menurunkan biaya produksi EBT di sisi investor, yang artinya insentif bergeser dari hilir ke hulu. Hal ini bisa ditempuh dengan menggunakan skema yang dilakukan di industri migas, untuk mengurangi risiko saat eksplorasi. Misalnya saja untuk pembangunan pembangkit panas bumi.
“Pemerintah ambil alih risiko eksplorasi panas bumi. Bisa dengan cost recovery atau menjual uap pada investor,” kata Rinaldy di Jakarta, Kamis (2/3).
Lebih lanjut beberapa insentif lainnya juga diharapkan bisa diberikan seperti insentif pajak. Pengurangan perizinan, memberikan pinjaman lunak. Selain itu, pemerintah juga harus memiliki arah perencanaan yang jelas terkait serapan energinya ke depan.
“Serta mengintegrasikan proyek pembangkit dengan industri dan membuka peluang bagi pemilik tanah untuk penyertaan modal proyek besar,” tambahnya.
Strategi berikutnya adalah diversifikasi energi sehingga tidak terpusat di pulau Jawa. Beberapa langkah yang bisa ditempuh misalnya mewajibkan pabrik kelapa sawit membangun pembangkit, mewajibkan pemda membangun PLT sampah sesuai ketersediaan sampah, mewajibkan membangun PLT Bio di perkebunan besar, kemudian fasilitas biogas dibangun di seluruh peternakan, mewajibkan penggunaan solar cell seluruh kantor pemerintah serta seluruh pemda dan rumah mewah menggunakan solar cell buat penerangan jalan dan rumah.
Ketegasan pemerintah juga diperlukan terutama komitmen untuk menjalankan suatu regulasi dan memberikan topoksi tugas jelas terhadap badan usaha yang ditugaskan memgembangkan seperti PT PLN (Persero).
“Dan menargetkan 2030 seluruh impor BBM digantikan oleh biofuel serta memisahkan tugas PSO dan bisnis bagi BUMN pemerintah,” ungkap Rinaldy.
Strategi terakhir adalah penyempurnaan lembaga mendirikan badan penyangga.
Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan pemerintah tidak harus selalu memberikan insentif. Justru di zaman yang makin berkembang ini para pelaku usaha serta stakeholder harus mengikuti perkembangan yang menitikberatkan pada efisiensi dan kompetensi harga.
“Saran saya begini, coba diusahakan itu tidak perlu terlalu menunggu insentif. Yang perlu itu bagaimana bisa jual listrik makin lama makin kompetitif. Kalau misalnya mengharapkan insentif lah bikin juga hotel tidak tahu pelanggannya siapa,” kata Jonan.
Dia menambahkan Indonesia saat ini tengah belajar untuk menciptakan harga listrik EBT yang terjangkau. Hal itu tentu tidak bisa secara instan diwujudkan karena tingkat suku bunga bank tidak bisa karena platform ekonominya berbeda, kebijakan makro ekenominya juga berbeda, kebijakan fiskal dan moneter berbeda.
Selama ini tidak ada pihak manapun yang berani berkomitmen untuk memberikan harga yang kompetitif kepada masyarakat, padahal jika sudah ada jaminan pemerintah tidak akan tinggal diam membiarkan pelaku usaha menanggung kerugian.
“Kalau ada yang berani janji dengan saya bisa 1,99 sen per Kwh ya kita bilang saya carikan tanahnya yang gratis kan begitu. Pemerintah disini juga tidak minta 1,99 sen. Kalau mau 6 sen-7 sen mungkin boleh,” tandas Jonan.(RI)
Komentar Terbaru