JAKARTA – Penerapan skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split sebagai pengganti skema PSC cost recovery dalam kontrak pengelolaan lapangan migas di Indonesia ternyata masih meninggalkan tanda tanya terhadap implementasinya. Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hingga saat ini masih menunggu penjelasan dari pemerintah terkait kewajiban pajak yang harus dibayarkan, karena dapat berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan.
Gunung Sardjono Hadi, Presiden Direktur PT Pertamina Hulu Energi (PHE), mengatakan dalam skema gross split belum ada acuan jelas mengenai sistem perpajakan, sehingga kontraktor masih menggunakan mekanisme pembayaran pajak yang lama. “Gross split belum jawab. Belum ada acuan pihak yang jelas. Kita pakai yang lama dulu. Pajaknya, PPN, PPH, sama pajak impor segala,” kata Gunung di Jakarta, Selasa (7/2).
Menurut Gunung, jika tidak ada perhitungan yang jelas dalam sistem perpajakan maka nilai keekonomian dalam proyek bisa mengalami perubahan. Untuk itu, sambil menunggu kejelasan dari pemerintah maka kontraktor akan melakukan simulasi perhitungan yang hasilnya diharapkan bisa dijadikan bahan kajian dalam pertimbangan keekonomian lapangan.
“Kami mencoba melakukan simulasi, ini sharing dikasih waktu melakukan simulasi dengan beberapa skenario,” tambahnya.
PHE melalui anak usahanya, PHE Offshore North West Java (ONWJ) merupakan kontraktor pertama yang menggunakan skema gorss split. Belakangan PHE meminta adanya penambahan split sebagai kompensasi dari pembayaran pengembalian biaya terhadap investasi untuk barang modal atau peralatan selama pengelolaan blok ONWJ, karena kontraktor berubah skema dari cost recovery menjadi skema gross split.
“Menurut kacamata kami, kalau butuh perbaikan, kami sampaikan ke pemerintah lagi. Kami review, berapa banyak investasi yang terakumulasi yang tidak bisa masuk cost recovery, kita siap untuk validasi” ungkap Gunung.
Dia menambahkan PHE ONWJ juga akan mengkaji adanya kemungkinan revisi perhitungan selain undepreciated cost seiring dengan terbitnya regulasi tentang Participating Interest (PI) daerah ataupun harga gas. “PI ini kan di-carry. Eksplorasi juga dan kegiatan lain kami ramu semua terus kita sodorkan,” tukas Gunung.
Gunung bahkan mengusulkan untuk bisa melakukan kajian bersama lembaga independen seperti Ikatan Alumni Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam melakukan perhitungan dan dampak dari mekanisme gross split dan tidak berlakunya lagi Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
“Dengan tidak berlakunya PTK 007 berapa efisiensinya. Kita mencoba supaya independen. Biar balance, kita minta (insentif) tapi juga bisa efisiensi dari tidak adanya PTK,” kata dia.
Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute, menilai permasalahan pajak dalam skema gross split patut disoroti, karena pada hakikatnya regulasi sekelas peraturan menteri (Permen) hanya bisa mengatur lingkup internal Permen itu. Hal tersebut tentu tidak dapat mengakomodir mekanisme pelaksanaan bisnis migas yang berhubungan dengan berbagai sektor. Karena usaha migas sifatnya lintas sektor yang banyak bersinggungan dengan kebijakan eksternal.
”Salah satunya masalah perpajakan. Nanti akan muncul lagi masalah dari aspek lingkungan atau amdalnya,” tandas Komaidi.(RI)
Betul sekali bahwa aspek perpajakan harus disoroti sehubungan dengan perubahan pola bagi hasil K3S, dari Cost Recovery ke Gross Split.
Sebagai contoh masalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Sebagaimana diketahui, bahwa K3S bukan PKP (Pengusaha Kena Pajak), tetapi K3S ditugasi oleh Ditjen Pajak sebagai Wajib Pungut (Wapu) PPN. Implementasinya, ketika K3S berkontrak dengan pihak kontraktor jasa migas, maka ketika kontraktor jasa migas tersebut mengajukan tagihan (invoice) kepada K3S, maka PPN Keluaran si kontraktor jasa migas tersebut akan dipungut oleh K3S. Oleh K3S, PPN ini kemudian akan disetor ke Negara. Dalam hal ini, jumlah uang yang dikeluarkan pihak K3S adalah sebesar 110% (terdiri dari 100% biaya jasa dan 10% PPN). PPN yang disetor oleh K3S ke negara, pada era Cost Recovery, akan di-reimburse (diminta kembali) oleh K3S, bukan sebagai restitusi pajak, karena K3S bukanlah PKP.
Ketika kemudian skema Cost Recovery ini diubah menjadi Gross Split (yang berarti semua perhitungan terkait pola bagi hasil sudah ditentukan di awal), maka tidak ada lagi mekanisme reimbursement dari negara kepada K3S atas PPN yang dipungut dan disetor oleh K3S ke negara. Pertanyaannya, apakah PPN tersebut akan diakui oleh K3S sebagai bagian dari biaya produksinya? Tentu K3S akan menghitung ulang biaya produksi migasnya, dikaitkan dengan keekonomian investasinya (hal inilah yang disampaikan oleh Direktur Utama PHE. Sebagai alternatif, apakah PPN tidak diakui oleh K3S sebagai bagian dari biaya produksi migas tetapi akan dilaporkan kepada Ditjen Pajak dan kemudian akan diminta kembali oleh K3S melalui mekanisme restitusi? Kembali lagi, bahwa K3S bukanlah PKP, dan mekanisme restitusi pajak relatif memakan waktu panjang (18 – 24 bulan), pertanyaannya apakah K3S nyaman dengan mekanisme restitusi dari sisi cost of money mereka?