JAKARTA- Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Direktur Utama PT PLN (Persero) untuk mengkaji secara komprehensif terhadap perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017-2026 dengan mempertimbangkan berbagai aspek di antaranya memasukkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai alternatif jangka panjang.
“Kami meminta PLN untuk mempertimbangkan kemungkinan untuk memasukkan PLTN masuk dalam RUPT dan dapat disampaikan kepada Komisi VII sehingga selanjutnya dapat dijadwalkan rapat kerja dengan Menteri ESDM terkait hal tersebut,” ujar Mulyadi, Wakil Ketua Komisi VII DPR saat membacakan kesimpulan rapat Direksi PLN dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Selasa (24/1) malam.
Rapat membahas revisi RUPTL 2017-2016 dan 34 proyek pembangkit sisa Fast Track Program (FTP) atau Program 10 ribu megawatt MW yang mangkrak. Selain memasukkan klausul pengembangan PLTN, Komisi VII juga mendesak Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM RI dan Direktur Utama PLN segera memfinalisasi pengembang pengganti terkait pembangkit listrik yang Power Purchase Agreement (PPA) sudah agar proses fisiknya dapat dilaksanakan sesuai jadwal.
Selain itu, Komisi VII meminta Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM RI dan Dirut PLN melaporkan rencana pelaksanaan dari pengembang pengganti, mulai dari terbit PPA sampai mulai beroperasi. Komisi VII juga meminta Dirut PLN menyampaikan informasi secara detil dan komprehensif terkait dengan 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak serta tindak lanjut yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.
Energi Nuklir
Mohammad Nasir, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, mengakui bahwa Indonesia harus segera membangun PLTN untuk pengembangan energi guna memenuhi kebutuhan energi yang cukup besar pada beberapa tahun ke depan. Saat ini, kapasitas pembangkit terpasang sekitar 60 ribu megawatt (MW) dan tidak akan cukup dalam beberapa tahun ke depan bila pasokan pembangkit baru terlambat beroperasi.
Di sisi lain, upaya pengembangan pembangkit juga sangat penting demi meningkatkan elektrifikasi nasional. Hingga 2015, rasio elektrifikasi baru 88% dan menjadi 90,35% pada 2016 atau di atas target 90,15%. Tahun ini diproyeksikan rasio elektrifikasi diproyeksikan mencapai 92,75% dengan target pembangkit-pembangkit yang COD mencapai 4.487 MW.
Menurut Nasir, pergeseran tren sumber daya energi yang digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia mulai beralih dari minyak dan batu bara menjadi energi baru terbarukan termasuk nuklir. Dia menjabarkan bagaimana negara Eropa seperti Prancis yang memanfaatkan PLTN sebagai sumber energi, dan bahkan diekspor ke negara lain. Lebih lagi, Jerman yang menutup diri akan pembangunan PLTN tetap menggunakan energi dari hasil PLTN yang diimpor dari Perancis.
“Di Timur Tengah, lanjut Nasir, Uni Emirat Arab juga tengah membangun empat PLTN yang akan selesai setiap tahun mulai 2017 hingga 2020,” katanya.
Arab Saudi yang mengalami defisit anggaran karena harga minyak dunia yang anjlok pun telah memproklamirkan penggunaan tenaga nuklir sebagai pengganti minyak di tahun 2020. Sementara di Asia, lanjut Nasir, selain Jepang yang sudah lama memiliki PLTN negara tetangga Indonesia yakni Malaysia juga sudah berkomitmen akan membangun reaktor nuklir di Serawak.
Apabila pertimbangan Indonesia tidak membangun PLTN karena keselamatan dan keamanan, lanjut Nasir, pertimbangan tersebut akan percuma karena Malaysia akan membangun tenaga nuklir di wilayah yang dekat dengan Indonesia. “Pertanyaan kalau risiko terjadi bencana siapa yang kena duluan? Kita (Indonesia),” kata Nasir.
Menurut Nasir, pembangunan PLTN sangat aman dan sangat terkendalikan. Selain itu produksi energi dari PLTN bisa menekan biaya karena sangat murah.
Djarot S Wisnubroto, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), mengatakan Indonesia menghadapi tantangan pemenuhan energi di masa mendatang. Data Kementrian ESDM menunjukkan cadangan minyak Indonesia akan habis dalam 12 tahun kedepan. Sementara cadangan batu bara proven hanya mampu bertahan hingga 22 tahun. Sedangkan gas akan habis dalam 36 tahun mendatang. Sementara itu, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak pernah beranjak dari apa yang dilakukan 10 tahun lalu. Adapun pemanfaatan tenaga air hanya berkisar 10,10% dari sumber daya yang ada, panas bumi 4,8%, biomassa 3,3%, sedangkan surya, angin, dan samudera masih sangat kecil.
Djarot mengatakan, Indonesia akan mengalami kesulitan untuk mencapai target 23% penggunaan EBT 2025 apabila hanya mengandalkan energi terbarukan. Karena itu, perlu adanya pengembangan PLTN guna mencukupi kebutuhan energi masa depan.”PP Nomor 79 tahun 2014 menargetkan 115 Gwe pada 2025. Ini berarti perlu adanya pembangunan pembangkit rata-rata 6,2 Gwe per tahun,” tutur Djarot.
Jika negara hanya mengandalkan kemampuan PLNdan pihak swasta lain, menurut Djarot, 26% kebutuhan energi pada 2025 tidak akan terpenuhi. Dengan demikian, pembangunan PLTN dengan daya seribu sampai 1.400 MW per unit perlu dipertimbangkan.
“Tantangannya hanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam mengelola teknologi berisiko. Padahal dengan pengalaman selama 40 tahun, Indonesia telah memiliki infrastruktur yang memadahi unuk membangun PLTN. Didukung pula dengan peraturan perundangan yang memadai, adanya organisasi promosi-litbang Batan dan badan pengawas Bapeten, serta SDM yang cukup,” katanya, baru-baru ini.
Menurut Djarot, Indonesia lebih siap dibandingkan Vietnam, negara pertama yang akan memiliki PLTN di Asia Tenggara. Namun begitu, persoalan yang selanjutnya harus dihadapi Indonesia adalah cadangan uranium untuk mendukung pengembangan PLTN.
Menurut perhitungan ekonomi, total uranium yang dibutuhkan tidak lebih dari 14% dari keseluruhan pembiayaan operasi PLTN. Dengan demikian fluktuasi harga uranium tidak banyak berpengaruh terhadap harga listrik.
“Uranium bersifat unik. Bisa dikatakan sebagai bahan bakar tidak habis pakai. Hal ini menyebabkan negara yang mengoperasikan PLTN, tetapi tidak menghasilkan sendiri uranium juga memiliki posisi unik. Mereka tetap mempunyai sisa uranium dan bahan nuklir baru plutonium,” jelas dia.
Hingga saat ini Indonesia memiliki potensi uranium 70 ribu ton di sejumlah wilayah, antara lain di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. (RI/DR)
Komentar Terbaru