JAKARTA – Tuntutan pekerja panas bumi Chevron Indonesia membayangi proses divestasi aset panas bumi yang dikelola PT Chevron Geothermal Salak dan PT Chevron Geothermal Indonesia yang saat ini masuk tahap akhir. Proses divestasi atau penjualan aset panas Chevron ditargetkan tuntas akhir 2016.
Indra Kurniawan, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional Chevron Indonesia, mengatakan tahapan divestasi sudah mendekati tahapan akhir dari proses divestasi aset, namun sebaliknya dengan proses pengurusan ketenagakerjaan masih sangat jauh dari harapan.
Chevron belum mau memenuhi tuntutan pekerja Chevron Geothermal Salak dan Chevron Geothermal Indonesia yang menginginkan penyelesaian pembayaran pesangon pada saat perubahan kepemilikan dua perusahaan tersebut.
“Sudah lebih dari enam bulan pekerja menyuarakan tuntutan mereka melalui Serikat Pekerja Nasional Chevron Indonesia sejak diumumkannya proses pelelangan dua aset panas bumi milik Chevron Indonesia di Salak dan Darajat,” ujar Indra di Jakarta, Rabu (2/11).
Saat ini ada enam perusahaan yang bersaing mendapatkan dua Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola Chevron, yaitu PLTP Salak Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan kapasitas 377 MW dan PLTP Darajat di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut, Jawa Barat dengan kapasitas 255 MW. Selain PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), ada lima perusahaan lain yang tertarik mengakuisisi, yakni PT PLN (Persero), PT Medco Power, dan PT Star Energy serta dua perusahaan asal Jepang, yaitu Mitsui dan Marubeni.
Menurut Indra, serikat pekerja Chevron telah membuka komunikasi formal dan informal dengan perusahaan lewat beberapa pertemuan. Kelompok kerja khusus dibentuk untuk menampung aspirasi pekerja dari kedua perusahaan yang tersebar di Garut, Sukabumi, Jakarta, Kalimantan dan Sumatera.
Chevron bersikukuh untuk melakukan pembicaraan dalam kerangka kajian tanpa akhir kesepakatan. Hal ini bertolak belakang dengan harapan serikat pekerja yang menginginkan kerangka perundingan bipartit yang dilindungi undang-undang.
“Kami juga telah mengadukan ke Kementerian Tenaga Kerja sebagai instansi pemerintah yang melindungi ketenagakerjaan di Indonesia,” ungkap Indra.
Sebagai bagian dari rencana penjualan, Chevron juga akan memindahkan pekerja dari PT Chevron Pacific Indonesia yang berkedudukan di Sumatera dan PT Chevron Indonesia Company yang berkedudukan di Kalimantan ke organisasi geothermal.
Menurut Indra, langkah tersebut menyebabkan penggelembungan organisasi geothermal yang berujung pada efisiensi dan PHK setelah pemindahan kepemilikan perusahaan nanti.
“Perasaan perlakuan yang tidak adil kemudian menyeruak saat perusahaan berencana akan membayarkan pesangon pekerja yang akan dipindahkan ke organisasi geothermal. Padahal disisi lain perusahaan bersikukuh tidak mau membayarkan pesangon pekerja panas bumi,” kata dia.
Aksi pun mulai dilakukan pekerja sejak Agustus 2016 yang dimulai dengan penandatanganan petisi dukungan seluruh pekerja pada serikat pekerja. Hingga aksi long march di Garut dan aksi turun gunung pekerja pembangkit dari Gunung Salak ke kantor pusat Jakarta.
Eskalasi aksi pekerja akibat keresahan yang tak kunjung terjawab bias berlanjut menjadi aksi demonstrasi dan aksi mogok masal. Tentu saja hal ini akan berdampak pada keselamatan pekerja dan keandalan pasokan listrik di area Jawa Barat.
“Serikat pekerja berharap Chevron dapat membuka jalur perundingan bipartit dengan Kementerian Tenaga Kerja sebagai penengah untuk mencapai kesepakatan dari kedua belah pihak,” tandas Indra.(RI)
Komentar Terbaru