JAKARTA – Harga gas domestik dinilai sudah terlalu jauh diatas harga gas internasional. Bahkan harga gas yang berlaku saat ini belum pernah mengalami penyesuaian sejak awal 2015.
“Harga gas sekarang antara US$8,2-US$12,8 per MMBTU hingga sekarang. Padahal harga di pasar global hanya sekitar US$3-US$7 per MMBTU,” ujar Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi.
Menurut Safiun, tingginya harga gas yang harus dibayarkan industri disebabkan inefisiensi, baik di sektor hulu hingga hilir. Serta banyaknya pemburu rente yang terlibat dalam rantai distribusi pasokan gas di dalam negeri.
“Dihulu sebenarnya kalau harga belum cocok tidak perlu dikontrakkan. Harga gas mahal juga karena pemerintah sangat lamban memutuskan karena perizinan terlalu panjang dan bertele-tele,” ungkap Safiun.
Dia menegaskan harga gas seharusnya konsisten. Pelaku usaha juga siap mengikuti harga pasar, asalkan penetapan harganya wajar.
“Tidak masalah, kita kan juga sudah biasa misalnya harga BBM non-premium di pompa bensin,” kata dia.
Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan harga gas domestik tidak bisa diukur dengan harga minyak dunia secara langsung. Pasalnya, formula harga gas domestik diukur dari tingkat kesulitan lapangan. Berbeda dengan harga gas ekspor yang memang formula harganya mengikuti indeks harga minyak dunia.
“Jadi kalau sekarang formula harga gas berdasarkan kondisi tingkat kesulitan lapangan, yang harus diubah itu term yang ada dalam kontrak PSC-nya,” kata dia.
Satya menambahkan setiap lapangan mempunyai term kesulitan yang berbeda-beda. Hal itu menunjukkan tingkat keekonomian sebuah lapangan. Kemudian baru muncul harga gas. Maka kenapa dalam satu lapangan itu bisa mempunyai harga gas yang berbeda–beda, walaupun dalam satu lapangan.
“Satu lapangan itu bisa dua PSC atau satu PSC karena mereka tergantung dari bagi hasilnya,” kata dia.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah mengkaji mekanisme hybrid dalam penetapan harga gas yang mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Jika simulasi yang dilakukan berhasil, maka Indonesia akan meninggalkan rezim penetapan harga gas tetap atau fixed dalam eskalasi tahunan.
“Skenario hybrid adalah salah satu cara yang sedang dibahas bersama seluruh stakeholder, termasuk badan usaha di sektor hulu, midstream, seperti trader, agar semuanya sejalan dan efektif dalam penyalurannya sehingga memiliki margin yang wajar,” kata Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Kementerian ESDM.
Menurut Agus, dengan mekanisme hybrid maka diharapkan bisa melindungi seluruh pihak, baik pembeli atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), karena ada batasan dan perhitungan yang jelas terkait hubungannya dengan fluktuasi harga minyak dunia.
“Jika langsung kayak LNG, pada saat harga diatas US$100 per barel, gasnya nanti bisa US$ 17 per MMBTU, US$ 18 per MMBTU. Dengan hybrid, ini kan jadi separuhnya hanya US$ 10 per MMBTU. Simulasi kita begitu,” tandas Agus.
Menurut Satya, yang harus dibenahi sebenarnya adalah kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). Karena pada dasarnya tidak ada KKKS yanh mau memgembangkan lapangan jika harganya tidak sesuai dengan keekonomian. Untuk itu harus ada jalan tengah antara KKKS dan pemerintah.
“Mungkin term-nya tidak bisa lagi 85:15, mungkin 60:40 atau bahkan negara bisa lebih kecil dari kontraktor 40:60 tergantung dari kesulitan lapangan,” kata dia.
Satya mengatakan untuk memperoleh harga gas rendah juga harus dilihat dari sisi bagi hasil. Bisa saja pendapatan negara berkurang tapi industri jalan karena itu gas kita ingin jadi penggerak ekonomi.
“Tetapi harus dilihat lagi ada faktor yang tidak sederhana. Dari hilir ada toll fee ada trader yang tidak punya infrastruktur tapi bisa tentukan harga. Itukan juga jadi faktor,” tandas Satya.(RA/RI)
Komentar Terbaru