JAKARTA – Tren kenaikan harga minyak dunia yang saat ini telah berada di kisaran US$40-US$41 per barel diperkirakan akan membuat harga bahan bakar minyak (BBM) pada periode Juli-September 2016 akan naik signifikan, jika pemerintah menurunkan harga BBM pada mengikuti harga rata-rata Mean of Plats Singapore (MOPS) Januari-Maret 2016.
“Jadi kalau periode tiga bulan tetap dipegang, kami usulkan untuk April harga BBM boleh turun, tapi tidak usah banyak. Nanti Juli tidak usah naik, meski kami rugi. Kerugian itu nanti bisa ditutup dari keuntungan saat ini,” ungkap Ahmad Bambang, Direktur PT Pertamina (Persero) di saat diskusi publik bertajuk Stabilisasi Harga BBM untuk Pertumbuhan Ekonomi yang digelar Syiar Institute di Jakarta, Selasa (29/3).
Menurut Ahmad, Pertamina telah mengusulkan kenaikan harga sebesar Rp200-Rp400 per liter kepada pemerintah. Hal itu juga telah didukung survei yang menunjukkan penurunan harga sebesar itu sudah cukup memuaskan bagi masyarakat.
”Jadi poinnya disaat April–Juni nanti kita ada profit lumayan. Jadi ketika ada harga minyak naik di Juli-Agustus naik, kita jamin tidak akan ada kenaikan harga BBM. Jadi ketika lebaran, puasa dan liburan sekolah, masyarakat tidak akan terbebani kenaikan harga BBM,” tegasnya.
Ahmad Bambang mengatakan merujuk pada penurunan harga BBM pada Januari 2016 lalu, konsumsi BBM saat penurunan harga melonjak dua kali lipat. Akibatnya, stok BBM di sebagian Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) langsung kosong.
Selain masyarakat yang menahan pembelian BBM, pengusaha SPBU juga menahan pembelian hingga penurunan harga BBM. Akibatnya, stok BBM di SPBU hanya tersedia 1-2 hari.
“Kita tidak mau ini terulang. Untuk itu, Pertamina akan menanggung selisih harga pengusaha. Mulai besok, kita akan isi penuh dulu (SPBU),” tegasnya.
Menurut Ahmad, penurunan harga BBM juga tidak otomatis diikuti dengan penurunan harga bahan pokok dan tarif transportasi. Saat Januari harga BBM turun cukup signifikan, barang dan jasa tidak turun, bahkan harga beras justru naik.
“Berbeda hal jika harga BBM naik, harga barang dan jasa bisa dipastikan akan ikut meningkat,” kata dia.
Pertamina mengusulkan harga BBM turun sebesar Rp200-Rp400 per liter dibanding harga BBM periode Januari-Maret 2016. Untuk harga BBM periode Januari-Maret 2016, formula yang digunakan adalah MOPS dan kurs rata-rata 25 September-24 Desember 2015. Hasilnya harga solar ditetapkan Rp5.650 per liter dan premium non Jamali (Jawa, Madura, Bali) Rp6.950 per liter dan untuk Jamali sebesar Rp7.050 per liter.
Afandi, Vice President Fuel Retail and Marketing Pertamina, menambahkan MOPS per 24 Maret 2016 sudah berada pada level US$50 per barel, atau naik 10% dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. “Jadi memang kalau besok (harga BBM) turun drastis, pada Juli juga akan naik signifikan,” katanya.
Dito Ganinduto, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan harga BBM dipengaruhi harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Masalahnya, saat ini harga minyak sulit ditebak, sehingga harga BBM juga akan ikut fluktuatif jika mengikuti harga pasar. Untuk itu diperlukan kehadiran pemerintah untuk menjaga stabilitas harga BBM.
“Kami berpendapat, apabila harga crude turun, tidak perlu harga BBM turun proporsional. Demikian juga saat harga crude naik. Jadi tidak terjadi fluktuasi yang tinggi,” kata Dito.
Menurut Dito, ketergantungan masyarakat yang sangat besar terhadap BBM membuat multiplier effect kebijakan harga BBM juga menjadi sangat besar. Inilah yang membuat pentingnya pentingnya harga BBM tetap stabil.
Untuk itu, lanjut dia, dalam revisi Undang-Undang Minyak dan Gas (UU Migas), DPR menyiapkan payung hukum terkait kebijakan harga BBM, dimana penentuan harga BBM diatur pemerintah dan tidak mengikuti harga pasar.
“Stabilitas harga harus ada. Karena harga minyak saat ini tidak wajar, ada uncertainty dan ini bisa berpengaruh pada harga BBM,” tukasnya.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan porsi BBM pada bauran energi nasional saat ini mencapai 60%-65%, sehingga bisa dibayangkan dampaknya jika harga BBM tidak dijaga stabilitasnya.
“Harga pasar hanya salah satu referensi. Namun dengan melihat kemampuan produksi dan konsumsi masyarakat, butuh intervensi pemerintah dalam penentuan harga BBM,” kata dia.
Menurut dia, dari total produksi minyak nasional yang mencapai 800 ribu barel per hari, setelah dikurangi bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), maka bagian negara hanya sebesar 500 ribu-600 ribu bph.
“Padahal, produksi BBM mencapai 1,4 juta-1,6 juta bph. Selisih inilah yang kemudian harus ditutupi dari impor hingga menyedot 40% neraca pembayaran kita,” tandas Komaidi.(AT/RI)
Komentar Terbaru