JAKARTA – Pemerintah akan mengkaji parameter yang digunakan PT Freeport Indonesia dalam pengajuan harga divestasi 10,64% saham anak usaha Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan peraturan mengenai tata penilaian divestasi telah disebutkan apabila harga yang diajukan merupakan harga dasar bagi pihak swasta.
“Kita lihat metodenya seperti apa, parameternya seperti apa. Kita lihat US$ 1,7 miliar kalau kemahalan nanti akan kita tawar,” ujar Bambang di Jakarta, Senin.
Menurut Bambang, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara memberikan tenggat waktu 60 hari bagi pemerintah untuk mengevaluasi tawaran yang diajukan Freeport. Namun tenggat waktu itu seharusnya dihitung setelah ada kesepakatan harga.
“Jadi 60 hari jangan dipatok pada surat penawaran. Kita berharap harga sepakat dulu. Nanti dihitung argonya silahkan, 60 hari kita berharap setelah kesepakatan harga,” ungkap dia.
Bambang mengatakan pihaknya sudah melakukan pertemuan tahap awal dengan sejumlah institusi pemerintahan tersebut membahas mengenai mekanisme kerja dan jadwal penyelesaian divestasi saham Freeport.
“Pembahasan mengenai sikap kita setelah menerima surat dari Freeport McMoran. Jadi, tadi (Senin18/1) kami menanyakan kesediaan pihak kementerian terkait untuk menjadi tim dalam rangka divestasi,” kata dia.
Freeport sebelumnya telah mengajukan tawaran resmi ke pemerintah sebesar US$ 1,7 miliar untuk 10,64% saham yang akan didivestasi dari total 100% saham senilai US$ 16,2 miliar.
Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS), mengatakan pemerintah harus benar-benar mengkaji secara serius. Pasalnya, berdasarkan perhitungan harga saham yang ditawarkan Freeport terlalu mahal.
Pada 2014, aset Freeport Indonesia tercatat US$ 9,1 miliar dengan total kewajiban US$ 3,4 miliar dan modal US$ 5,7 miliar. Perusahaan yang mengelola tambang emas dan tembaga Grasberg di Papua tersebut juga mencatat laba bersih US$ 500 juta, turun dibanding 2013 sebesar US$ 784 juta.
Menurut Budi, jika diasumsi laba bersih Freeport pada lima tahun ke depan stabil sebesar US$ 500 juta, maka hingga 2021 laba bersih Freeport US$ 3,92 miliar (belum discounted) dan ditambah aset 2014 menjadi US$ 13 miliar.
“Jadi nilai saham Freeport yang US$ 16,2 miliar terlalu besar. Perlu diingat dan menjadi pertimbangan pemerintah,” kata dia.
Menurut Budi, dalam waktu satu setengah tahun kedepan Freeport Indonesia akan lebih banyak melakukan pengembangan usaha, sehingga laba dan produksi akan turun.
“Apalagi 4 tahun terakhir Freeport tidak membayar dividen dan ini bisa terjadi selama 5 tahun ke depan,” ungkap dia.
Budi mengatakan, mineral bukan milik penambang sebelum membayar kewajibannya. Dengan demikian, menurut dia, proyeksi nilai saham tidak bisa memasukkan nilai cadangan emas yang ada.
“Itu diluar izin yang diberikan (tidak melebihi 2021). Bagaimana kalau pemerintah tidak melanjutkan izin pengusahaan tambang Grasberg ke Freeport. Jangan sampai pemerintah tersandera oleh pembelian sahamnya yang belum balik, akhirnya terpaksa memperpanjang kontrak Freeport,” tandas dia.(RA)
Komentar Terbaru