ENAM puluh tiga tahun sejatinya adalah usia yang sudah matang merasakan asam garam kehidupan. Memasuki usia lebih dari enam dekade justru pembelajaran paling penting harus dilalui PT Pertamina (Persero). Berbagai target yang berbasis terhadap rencana transisi energi harus dikejar Pertamina di usianya 63 tahun. Pekerjaan transisi energi bukan perkara mudah lantaran lebih dari setengah abad mengebor isi perut bumi.
Pertamina sudah terlalu nyaman dengan bisnis migas yang berkutat di produksi, olah menjadi BBM atau gas baik itu LNG atau pipa dan dijual. Kini Pertamina tidak bisa lagi bermain aman dan harus mulai mengalihkan fokus dalam hilirisasi migas dalam bentuk petrokimia. Ada beberapa proyek menuju hiliirsasi tersebut. Manajemen Pertamina mengklaim proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) atau revitalisasi kilang eksistingnya maupun pembangunan kilang baru di Tuban, Jawa Timur akan terintegrasi dengan petrokimia. Selain itu juga ada proyek pembangunan fasilitas produksi Olefin dan Aromatik atau dikenal dengan Olefin Complex Development Project (OCDP) di kawasan TPPI, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Daniel Purba, Senior Vice President Corporate Strategic Growth Pertamina, mengatakan jatuhnya harga minyak mentah di awal 2020 menggerus margin bisnis pengolahan bahan bakar minyak (BBM) di dunia, termasuk proyek pembangunan kilang. Ini juga yang membuat Pertamina sempat kesulitan mencari dan menentukan mitra strategis yang tepat dalam proyek RDMP. Untuk itu, Pertamina menyiapkan strategi untuk membuat proyek kilang perseroan tetap menguntungkan.
Agar minat para pelaku usaha tetap tinggi maka Pertamina akan mengintegrasikan seluruh proyek kilang dengan pabrik petromikimia. Sehingga, produksi kilang Pertamina tidak lagi dominan BBM. “Saat ini tren dalam pembangunan kilang tidak hanya untuk BBM, namun juga petrokimia, sehingga value added yang didapatkan bisa men-justified investasi yang dilakukan,” ungkap Daniel belum lama ini.
Pertamina saat ini menggarap upgrading lima kilang miliknya, yakni Kilang Dumai, Plaju, Balikpapan, Balongan, dan Cilacap. Selain itu, perseroan juga membangun satu unit kilang baru berkapasitas 300 ribu barel per hari (bph) di Tuban, Jawa Timur dan proyek kilang hijau atau green refinery di Komplek Kilang Plaju.
Proyek kilang Pertamina yang diintegrasikan dengan pabrik petrokimia diantaranya adalah Kilang Tuban yang bermitra dengan Rosneft perusahaan asal Rusia dengan rencana kilang tersebut bisa memproduksi produk-produk petrokimia,yakni polipropilen 1,3 juta ton per tahun, polietilen 0,65 juta ton per tahun, stirena 0,5 juta ton per tahun dan paraksilen 1,3 juta ton per tahun.
Pertamina telah menandatangani frame work agreement dengan China Petroleum Corporation (CPC) Taiwan membangun komplek petrokimia di Balongan, Jawa Barat senilai US$6,49 miliar untuk membangun pabrik naphta cracker dan unit pengembangan sektor hilir petrokimia berskala global di Indonesia.
Di umur 63 tahun ini Pertamina juga dipastikan makin melebarkan bisnisnya di sektor ketenagalistrikan. Pertamina adalah perintis pengembangan energi panas bumi. Tapi itu saja dirasa tidak cukup. Maklum, tren energi bersih terus berkembang yang secara tidak langsung juga dipastikan akan berpengaruh terhadap bisnis utama Pertamina di sektor migas.
Kini mau tidak mau Pertamina harus masuk menjajal dunia lain seperti kelistrikan melalui baterai listrik maupun Energi Baru Terbarukan (EBT) agar tetap bisa hidup dan tetap jadi BUMN yang dikenal sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia.
Beberapa tahun kebekalang mobil listrik dan baterainya memang sempat dijajaki oleh perseroan tapi itu hanya sebatas pilot project atau “cek ombak”. Tapi memasuki usia 63 tahun ini tidak adalagi coba-coba. Baru-baru ini komitmen Pertamina untuk ambil bagian dalam bisnis masa depan ini dengan bergabung di konsorsium proyek baterai kendaraan listrik bersama dengan PT Aneka Tambang (ANTAM) dan PT PLN (Persero).
Dari sisi EBT, Pertamina mulai tahun lalu sebenarnya sudah jor-joran terlibat melalui program campuran biodiesel dengan solar. Sejak tahun lalu program ini terus ditingkatkan dari semula program B20 atau campuran 20% tahun ini campurannya menjadi 30% atau B30. Dan pemerintah menargetkan campuran 40% bisa diimlementasikan pada tahun depan.
Program biosolar bukan tanpat tantangan. Masalah logistik sejak awal jadi biang kerok masalah sehingga banyak tudingan bahwa program biosolar ini bukannya untung malah buntung. Pertamina dikabarkan justru menanggung biaya lebih tinggi karena harus berinvestasi lebih untuk menjaga kualitas biosolar tetap baik dan diterima bagi kendaraan.
Jangan lupakan juga dengan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang digarap bersama PT Bukit Asam Tbk dan Air Product. Proyek prestisius ini memiliki ambisi khusus. Jika telah rampung di tahun 2025 nanti DME diharapkan bisa menjadi alternatif pengganti LPG yang selama ini dipenuhi melalui impor sehingga menguras devisa negara.
Persiapan transisi energi harus dilakukan secara paralel menjaga kinerja operasi produksi migas karena bagaimanapun migas tetap menjadi salah satu energi yang porsinya tetap besar bahkan hingga beberapa puluh tahun mendatang.
Pemerintah sudah mencanangkan target produksi minyak pada tahun 2030 mencapai 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd). Pertamina yang sekarang menguasai hampir 60% pengelolaan blok migas di Indonesia sudah barang tentu menjadi instrument utama untuk mencapai target tersebut.
Itu tentu tidak akan mudah, apalagi meskipun mengelola sebagian besar blok-blok migas di nusantara tapi blok-blok tersebut sudah mature karena sudah berproduksi lebih dari 20 tahun bahkan seperti blok Mahakam misalnya sudah lebih dari 40 tahun. Blok Rokan yang tahun depan mulai dikelola juga sudah 50 tahun lebih berproduksi sehingga banyak blok-blok yang dikelola Pertamina sudah memasuki fase natural declining atau penurunan produksi secara alami. diperlukan usaha dan biaya ekstra untuk menjaga level produksi migas Pertamina.
Apa yang terjadi di hulu tentu berdampak pada bisnis hilir. Ada pekerjaan besar yang tidak kunjung bisa diselesaikan terkait impor minyak mentah dan BBM yang masih jadi beban Pertamina. Belum lagi dengan tugas tambahan menghadirkan BBM satu harga di seluruh pelosok negeri yang membutuhkan biaya tidak sedikit mengingat rantai distribusi BBM Pertamina bisa menggunakan berbagai moda trasnportasi juga diakui sebagai salah satu pola distribusi BBM paling rumit di dunia.
Di tengah usaha mengejar target yang dicanangkan, tahun ini bak durian runtuh tanpa angin tanpa hujan badai tiba-tiba pemegang saham dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta manajeman Pertamina mengejutkan rakyat Indonesia bahkan mungkin dunia internasional dengan perubahan drastis organisasi manajemen perusahaan yang mungkin bisa dibilang seperti perubahan “radikal”. Bagaimana tidak? sistem manajemen Pertamina di usianya yang ke 63 sekarang sangat jauh berbeda dengan Pertamina seperti yang dulu dirintis oleh Ibnu Sutowo sang pendiri Pertamina.
Kini tubuh Pertamina adalah tubuh holdingisasi yang terdiri dari beberapa subholding sebagai penopang induknya. Manajemen meyakini dengan bentuk sekarang Pertamina akan lebih lincah menghadapi era transisi energi yang sekarang harus dihadapi. Tapi yang jadi pertanyaan apakah bisa holdingisasi berjalan mulus ditengah berbagai tantangan yang sekarang tengah dihadapi perusahaan. sekarang saja transisi yang terjadi di perusahaan masih transisi virtual belum terjadi secara legal. Usut punya usut ternyata organisasi perusahaan di hulu misalnya, belum alami perubahan signifikan. Konsultan yang digunakan Pertamina PwC saja memperkirakan transisi di Pertamina bisa memakan waktu dua tahun. Waktu yang cukup lama jika melihat berbagai target perusahaan.
Apapun sistem organisasi atau manajemen yang dianut perusahaan ujungnya tentu kinerja keuangan. Tahun ini kinerja keuangan Pertamina dipastikan tidak akan sehijau tahun-tahun sebelumnya. Pertengahan tahun ini saja Pertamina sudah mencatatkan kerugian, sebuah kondisi yang sangat amat jarang dialami dan membuat banyak pihak terheran-heran terjadi ditengah besarnya market pada bisnis hilir. Berdasarkan laporan keuangan Pertamina, pada semester pertama tahun ini, perseroan tercatat merugi hingga US$ 767,91 juta dibandingkan periode yang tahun lalu yang membukukan laba US$ 659,95 juta.
Emma Sri Martini, Direktur Keuangan Pertamina, mengatakan ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina yaitu turunnya harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dolar AS dan permintaan BBM. Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi, sedangkan turunnya permintaan akibat pandemi COVID-19 menyebabkan sektor hilir merugi. Penurunan kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena fundamental pembukuan Pertamina berdasar dolar AS.
“Ini beda sekali dengan krisis sebelumnya. Biasanya kalau terdampak itu volatilitas kurs dan crude price. Kalau sekarang demand turun signifkan dan berdampak pada revenue kami. Bahkan kondisi sekarang ini lebih berat dari krisis finansial,” kata Emma.
Namun demikian, bila dilihat dari bulan ke bulan, mulai Mei 2020, keuangan perseroan membaik dan berhasil membukukan laba (unaudited) sebesar US$ 408 juta pada Juli kemarin. Kondisi keuangan Pertamina ini membaik juga seiring meningkatnya konsumsi BBM, setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk meredam penularan pandemi COVID-19 dilonggarkan.
Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengungkapkan bahwa memasuki paruh kedua 2020, perusahaan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja melakukan transformasi, efisiensi, dan akuntabilitas secara konsisten. Sehingga di penghujung tahun 2020 berhasil mencetak laba bersih.
Optimistme kinerja keuangan tahun ini akan berujung positif setelah sempat negatif pada pertengahan tahun. Manajemen yakin hingga 2020 perseroan akan mencetak laba bersih sekitar US$ 800 juta dan EBITDA lebih dari US$ 7 miliar.
Dia menegaskan meskipun perusahaan terdampak triple shock karena pandemi COVID-19, namun seluruh lini bisnis terus bergerak menuntaskan target tahun 2020 sesuai KPI yang ditetapkan pemegang saham.
Di tengah tantangan saat ini lanjut Nicke Pertamina secara konsisten tetap mengoperasikan seluruh aktivitas produksinya dari hulu ke hilir, serta menggerakkan seluruh mitra bisnis pada ekosistem bisnis proses Pertamina dan sektor energi Indonesia. Manajemen Pertamina pun berupaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), meskipun perusahaan migas global lainnya maupun industri lain melakukan PHK besar-besaran.
“Pertamina konsisten berkomitmen untuk tetap menjadi penggerak perekonomian nasional di masa sulit akibat pandemi COVID-19, terutama untuk memastikan lapangan pekerjaan dan menjaga keberlangsungan hidup 1,2 Juta tenaga kerja langsung, serta multiplier effect terhadap sekitar 20 juta tenaga kerja secara tidak langsung,” ungkap dia.
Menuju Energi Bersih
Energi bersih jadi tujuan atau rencana jangka panjang Pertamina. Melalui PT Pertamina Power Indonesia, Subholding Power & New, Renewable Energy, perseroan menargetkan memiliki pembangkit listrik energi bersih dengan kapasitas terpasang 10 ribu megawatt (MW) atau 10 gigawatt (GW) pada 2026. Untuk mewujudkan targetnya tersebut, Pertamina mengidentifikasi tiga tantangan utama yang perlu dicarikan solusinya bersama-sama seluruh pihak, yaitu komersialisasi, lahan dan pembiayaan investasi.
Ernie D Ginting, Director of Strategic Planning and Business Development PPI, mengatakan Pertamina berkomitmen untuk terus meningkatkan kontribusinya dalam mendukung pemerintah mencapai target energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Kontribusi tersebut di antaranya melalui, pengembangan geothermal. Pertamina sebagai pengelola Wilayah Kerja Panas Bumi terbesar di Indonesia akan terus mengupayakan pengembangan geothermal melalui skema IPP (Independent Power Producer).
Kedua, pengembangan PLTS. Pertamina juga akan membangun PLTS di area yang memiliki iradiasi matahari yang tinggi dan menjalin kemitraan untuk membangun solar cell manufacture.
Menurut Ernie, salah satu isu dalam membangun PLTS adalah persyaratan TKDN. “Melalui rencana membangun solar cell manufacture, diharapkan akan menurunkan harga jual listrik dari PLTS dan meningkatkan TKDN tersebut,” kata Ernie.
Selanjutnya adalah pengembangan biofuel. Pertamina juga mendukung pemerintah untuk memproduksi biodiesel, bahkan lebih dari B30 dan menuju B100 melalui green refinery dan CPO processing. “Kami juga akan membangun battery manufacturing dengan partnership bersama battery technology provider dan BUMN lain. Kami akan gunakan distribusi Pertamina yang sangat ekstensif ini untuk membangun battery swapping and charging infrastruktur mengingat ke depannya EV (Electric Vehicle) akan bertumbuh,” ungkap Ernie.
Pertamina juga mengembangkan DME untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG, yang 70% di antaranya berasal dari impor. “Ini adalah beberapa inisiatif Pertamina untuk mendukung perkembangan NRE dan mencapai target bauran energi pemerintah,” ujarnya.
Menurut Ernie, aksi strategis ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari Pertamina, tidak hanya untuk mengambil bagian tetapi menjadi pemimpin dalam transisi energi di Indonesia. “Visi kami adalah memimpin transisi energi di Indonesia melalui inovasi energi bersih. Geothermal akan tetap menjadi salah satu pilar dari bisnis kami,” kata Ernie.
Tidak dapat dimungkiri Pertamina adalah adalah salah satu elemen penting penggerak ekonomi bangsa Indonesia. Mulai dari bisnis migas ataupun bisnis EBT yang akan digeluti Pertamina dipastikan menjadi pemain utama. Transformasi yang terus digaungkan manajemen belakangan ini diklaim sebagai salah satu jalan menghadapi transisi energi yang ada di depan mata. Tapi yang harus diingat, di usia 63 tahun Pertamina tetap dan makin menjadi salah satu target kakap bagi para pemburu rente, transformasi harus dilakukan dengan transparan sehingga transisi energi yang dilakukan Pertamina juga berjalan dengan mulus.
Selamat merayakan ulang tahun ke-63 Pertamina! (rio indrawan)
Komentar Terbaru