JAKARTA – Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM menyatakan tengah menertibkan izin-izin usaha pertambangan, termasuk Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) Kontrak Karya (KK), PMDN maupun PMA.

Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Minerba, mengungkapkan  terdapat instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo untuk meninjau izin pertambangan yang sekarang ada di Indonesia.

“Dari 5600-an izin pertambangan saat ini, Presiden memerintahkan meninjau kembali 1600 IUP, PKP2B, dan KK yang tidak berkegiatan karena ini akan merugikan negara. Setelah ditindaklanjuti ternyata bukan 1600, tapi ada 2350,” ungkap, dalam diskusi webinar, pekan kemarin.

Irwandy menegaskan bahwa evaluasi ini sedang berjalan. Semua yang tidak bisa mengerjakan kewajibannya dengan alasan yang tidak bisa diterima maka akan dicabut.

Wahyu Nugroho, Ketua Pusat Studi Hukum ESDM IKA FH Universitas Diponegoro dan Pakar Hukum Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam, mengatakan untuk menghindari kekisruhan seperti kasus Tambang Sangihe, instrumen perizinan lingkungan hidup tidak dapat diabaikan, terutama dokumen AMDAL saat izin tambang disetujui pemerintah.

Pemerintah juga harus memastikan apakah izin tersebut sudah tersinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah & Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).

“Mengingat 80% wilayah Indonesia adalah pesisir, dan sisanya adalah kehutanan. Sehingga penting dicermati aspek lingkungan hidup dan ekologisnya,” katanya. (RA)

Di samping itu, kata Wahyu, pengawasan juga harus dipastikan berjalan termasuk soal reklamasi dan pasca tambang.

Dalam evaluasi kegiatan usaha tambang, ia juga menekankan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (GCG) yaitu dari sisi kemanfaatan, kecermatan, keterbukaan, dan kepentingan umum.
Sisi manfaat misalnya, terutama di pulau-pulau kecil itu menjadi berkah atau musibah bagi masyarakat sekitar.

Dari sisi sosiologis, perlu diperhatikan soal keikutsertaan masyarakat dalam proses wilayah penetapan pertambangan, AMDAl, dan lainnya. Sebab, masyarakat memiliki hak untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemerintah juga harus memperhatikan aspek perlindungan wilayah, tanah, dan hutan adat.

“Kalau tidak ada partisipasi masyarakat, itu menjadi cacat formil izin pertambangannya,” kata Wahyu.

Wahyu merekomendasikan evaluas perizinan tambang bisa dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dari sisi kewilayahan tapi juga masalah tumpang tindih wilayah IUP lain ataupun lahan adat, status kawasan, sosial budaya dan lingkungan.
Koordinasi lintas sektoral juga diperlukan, tidak hanya Kementerian ESDM tapi juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KKP, Kementerian ATR/BPN, dan lainnya.

“Dan pastinya adalah harus ada ketegasan pemerintah baik dari sisi penciutan maupun pencabutan IUP/IUPK,” ujar Wahyu Nugroho.(RA)