JAKARTA – Mendorong upaya pencapaian target dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) merangkum 10 rekomendasi kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan mengacu pada dinamika diskusi selama lima hari penyelenggaraan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021.
Pertama, pembentukan perundangan yang kuat sebagai wujud dukungan politis Indonesia untuk mendorong dekarbonisasi dan pengembangan teknologi rendah karbon. “Kalau kita lihat hari ini beberapa kebijakan yang berkorelasi dengan upaya dekarbonisasi belum memadai. KEN dan RUEN pada 2050 masih cukup besar porsi energi fosil, energi terbarukan masih rendah, maka target ini perlu diubah,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam penyampaian 10 rekomendasi tersebut di IETD 2021.
Fabby mengatakan proses dekarbonisasi energi akan memakan waktu setidaknya tiga dekade mendatang. Oleh karena itu, dekarbonisasi perlu didukung oleh kepastian kebijakan jangka panjang yang konsisten dan tidak berubah arah. Kedua, penetapan kebijakan yang menciptakan kesetaraan (level playing field) antara energi terbarukan dan fosil. Sebab, keekonomian energi terbarukan sudah dapat bersaing dengan energi fosil.
“Energi surya dan angin bisa bersaing dengan energi fosil. Tapi masih ada kebijakan eksisting yang membuat energi fosil dikesankan murah atau rendah, oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan untuk mencabut subsidi energi fosil,” kata Fabby.
Dengan mencabut subsidi pada energi fosil atau menetapkan harga karbon yang tepat untuk mendorong keekonomian energi terbarukan, akselerasi dekarbonisasi dengan pengembangan energi terbarukan dapat terjadi. Ketiga, pembuatan rencana energi nasional dengan basis penurunan emisi karbon dan mempertimbangkan potensi pengembangan teknologi rendah karbon yang ada. Fabby mengatakan telah ada beberapa rencana pemanfaatan teknologi. Akan tetapi rencana itu perlu memperhatikan kecepatan inovasi pada masing-masing teknologi rendah karbon di dunia.
“Selain itu perlu juga diperhatikan bagaimana harga teknologi rendah karbon ini hingga 2050 mendatang. Oleh karena itu kebijakan energi khususnya yang berkaitan dengan harga harus mempertimbangkan jangka panjang. Apa yang murah hari ini, karena ada distorsi pasar, bisa saja kedepannya mahal,” kata Fabby.
Keempat, penetapan rencana pensiun PLTU optimal berdasarkan analisis data pada tiap unit PLTU. Analisis tersebut dapat digunakan untuk menentukan beberapa strategi dan waktu pelaksanaan yang tepat diterapkan untuk tiap unit PLTU.
“Kemudian kita juga harus memikirkan seberapa besar kapasitas yang ditinggalkan dan harus kita isi ketika PLTU pensiun,” kata Fabby.
Strategi yang dapat diterapkan untuk masalah tersebut diantaranya adalah pendanaan ulang untuk mempercepat waktu pensiun PLTU, modifikasi (retrofitting) PLTU, serta mengalihkan pendanaan dan investasi dari energi termal ke energi terbarukan.
Kelima, peningkatan bankability proyek energi terbarukan dengan memperbesar skala proyek dan dukungan regulasi yang komprehensif. Sebab, pengembangan energi terbarukan dalam skala besar telah terbukti dapat mendorong harga energi terbarukan yang sangat kompetitif.
Keenam, peningkatan adopsi kendaraan listrik dengan membangun ekosistem kendaraan listrik. Fabby melanjutkan bahwa ada kombinasi dari beberapa kebijakan diperlukan untuk mengakselerasi penetrasi kendaraan listrik. Diantaranya adalah penetapan disinsentif terhadap pemakaian bahan bakar fosil seperti pelarangan pemakaian kendaraan fosil dan penetapan standar efisiensi bahan bakar kendaraan fossil.
Ketujuh, penentuan peran bahan bakar bersih menuju 2050 dalam dekarbonisasi menyeluruh sistem transportasi. Sebab, kendaraan listrik sudah mutlak akan mendominasi dalam sektor kendaraan penumpang (passenger vehicle). “Tetapi peran bahan bakar bersih juga perlu dipersiapkan untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi yang tidak dapat digantikan dengan kendaraan listrik,” ujar Fabby.
Kedelapan, Indonesia perlu membuat dukungan kebijakan yang terintegrasi dari berbagai pihak. Selain itu, Indonesia butuh kolaborasi dari berbagai pihak untuk mendorong iklim investasi terhadap energi terbarukan. “Dalam jangka pendek ini hingga 2025 perlu ada upaya untuk memperbaiki iklim investasi dan mendorong deployment energi terbarukan. Saat ini sudah ada banyak sumber pendanaan nasional dan internasional yang siap untuk mendukung itu. Akan tetapi, Indonesia kini hanya menunggu komitmen pemerintah terhadap target energi terbarukan melalui kebijakan pemerintah,” kata Fabby.
Kesembilan, pemerintah perlu melakukan pengembangan industri rendah karbon sebagai industri prioritas nasional. Sebab, potensi industri rendah karbon Indonesia yang sudah teridentifikasi perlu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Misalnya, industri baterai, industri kendaraan listrik dan industri bahan bakar bersih.
“Pengembangan industri itu perlu diselaraskan dengan rencana riset dan pengembangan teknologi dalam negeri. Selain itu, komersialisasi dan peningkatan skala proyek teknologi domestik untuk meningkatkan demand dari teknologi. Lalu perlu diprioritaskan sehingga memaksimalkan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan,” ujar Fabby.
Kesepuluh, pemerintah perlu melakukan penyiapan tenaga kerja lokal untuk industri rendah karbon masa depan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung industri dalam negeri dan memaksimalkan dampak positif sosial ekonomi dari potensi pengembangan industri teknologi rendah karbon di Indonesia.
“Industri teknologi rendah karbon yang dimaksud adalah manufaktur panel surya, manufaktur baterai, dan produksi hidrogen. Selain itu, dibutuhkan pelatihan dan penyiapan tenaga kerja yang antisipatif dan selaras dengan perkembangan industri tersebut dari tahun ke tahun,” kata Fabby.(RA)
Komentar Terbaru